Omaku Sayang, Omaku Malang

Fii
Chapter #3

Butir 2 || Kemauan Oma Meutia Versus Zea

Seandainya langkah Dewi ditarik sebagai garis merah, Zea sebagai garis hijau, dan Fera sebagai garis kuning, maka jalanan di dalam rumah pagi ini seperti tiga benang beda warna yang malang melintang. Ketiga penghuni keluarga Scott itu saling berpapasan antara kamar mandi, kamar masing-masing, dan koridor lantai dua di jalur tangga. Suara teriakan mewarnai suasana pagi ini.

"Kak, kunci motorku ke mana?!" Suara Zea mirip orang ngajak bertengkar. Ditambah lagi dia main buka pintu kamar kakaknya dengan tenaga ekstra.

Fera yang tengah menggambar indah di alis kiri terperanjat. Tidak dapat terelakkan jika ujung pensil yang dia gunakan melampaui batas maksimal. Alhasil, satu goresan cokelat tua terukir mendekati pelipis. Melihat karyanya gagal sempurna, luapan bagaikan gunung meletus timbul sampai ke ubun-ubun.

Tahu siapa penyebab akan kekacauan paginya, Fera menoleh ke kanan di mana adiknya berdiri. "Zeaaaaa!"

Dewi yang keluar dari kamar sebelah nyaris jantungan mendengarnya. Dia merasa itu seperti sambutan atas keluar-masuknya ke kamar lebih dari tiga kali dengan gelagat tergesa dalam kurun waktu kurang dari 3 menit. Ponsel yang sedang menempel di telinga kirinya nyaris mendarat mulus ke lantai jika saja tangan sebelah tidak menangkap dengan refleks.

"Tu anak dua kenapa, sih?" gerutunya seraya mendekat. Ia mengambil posisi di sebelah Zea.

Kekesalan Zea sirna. Gelak tawa menggantikannya dan itu menular ke sang mama.

Tidak terima menjadi bahan olok-olok, Fera berjalan mendekat dengan langkah cepat. Tangan kanannya gatal menjambak rambut kuncir kuda Zea.

Tahu aksi apa yang akan dilakukan kakak perempuannya itu, Zea bergegas menghindar. Dia bersembunyi di balik punggung mamanya yang mulai berjalan menjauh.  

“Duh!” seruh Dewi kala anak keduanya itu memegang lengan dan menghalangi langkah.

“Kunci motormu hilang. Syukurin!” teriak Fera dari ambang pintu sebelum menutupnya. Aura tanduk bantengnya terbaca jelas oleh Zea.

“Kak Fer!” Zea ingin melangkah kembali ke kamar Fera, tetapi lengannya dicekal oleh perempuan berblouse satin putih tulang dengan padanan rok merah bata bentuk A line.

“Ngapain, sih, pagi-pagi udah ribut? Kebiasaan!” omel Dewi dengan kening sedikit mengerut.

“Ma, kunci motor aku!”

“Kamu lupa taruh lagi pasti. Semalam kan udah kamu ambil lagi. Kamu bareng Mama aja berangkatnya kan bisa,” sahut Dewi memberi solusi. Mereka mulai berjalan beriringan menuju tangga.

“Iya, berangkatnya bisa, tapi pulangnya …?” Zea tahu persis nasibnya nanti jika hal itu terjadi. Meskipun ada kendaraan yang bisa dipesan daring, tetapi dia memilih nebeng. Bukannya pelit atau terlalu berhemat. Dia hanya kurang nyaman naik kendaraan orang asing.

Sepanjang menuruni anak tangga, bibir Zea manyun. Dia masih berharap menemukan kunci motor Varionya. Namun, ragu untuk mencari ulang. Ini hari Senin dan upacara. Dia tidak ingin terlambat dan mendapat hukuman. Ingin nebeng Erlan pun sepertinya belum bisa karena motor cowok itu sedang di bengkel.

“Ze?” Cowok yang sedang Zea pikirkan mengeluarkan suara.

Zea mendongakkan wajah dan melihat sosok cowok berseragam OSIS dengan tatanan rambut tersisir rapi. Poninya yang tidak terlalu panjang ditata ke atas.

“Erlan, kita berangkat gimana?” Zea mendekat dan bertanya tanpa basa-basi.

“Yaa, enggak gimana-gimana,” jawab Erlan enteng. Dua detik kemudian, dia memamerkan benda yang ada di genggaman tangan kanan.

Melihat benda berupa gantungan kunci menyerupai jagung, Bibir tipis bentuk busur milik Zea sedikit terbuka. “Ah, elah! Naik mobil lama, macet, enggak bisa nyalip-nyalip,” komentarnya kemudian seraya mengentakkan kaki sekali, meninggalkan Erlan ke ruang makan.

Lihat selengkapnya