“Ram, Ram! Kamu punya cokelat enggak?” Meutia mencolek-colek bahu cowok berambut ikal yang sedang googling tentang sistem peredaran darah manusia. “Aku butuh cokelat nih! Boat-ku tinggal sejam lagi berangkat. Nyari-nyari di newspaper enggak nemu-nemu.”
“Aku lagi nanem, Oma. Lagi butuh juga buat order-an es krim,” jawab Rama tanpa memalingkan wajah dari layar macbook silver milik Zea.
Sebagai usaha kedua, Meutia yang masih duduk di sofa sendirian menarik kupluk hoodie Erlan. Entah kenapa dirinya suka sekali dengan kegiatan satu itu. “Lan, Lan, bagi cokelat dong!”
Erlan tidak menyahut, tetapi memberi feedback berupa gerakan telunjuk ke roadside shop[3] dan menyentuh gambar silo. Lantas dia memilih gambar buah cokelat terbelah. “Kujual lima, Oma.”
“Aaah! Thank you, Erlangga Dwitama.” Kepala Meutia geleng-geleng. Senyum puas terulas di bibir merah batanya. Dia menaikkan kacamata plusnya setelah mengeklik gambar cokelat di toko Erlan.
Sumpah! Zea sejak awal—setengah jam lalu—duduk sudah coba menahan telinganya yang gatal karena sang oma yang ribut sendiri dengan game. Eh, tidak! Ada juga cowok di samping kanannya yang tengah mengusap-usap tanaman padi—sedang panen. Namun, bedanya adalah cowok tersebut tidak berisik seperi omanya.
“Oma, ih, sana ke kamar aja!” Zea mulai kesal. Sesayang-sayangnya ke Meutia, dia akan tetap mengekspresikan kekesalnnya jika diganggu. Pasalnya, sudah sejam mereka berkumpul di ruang tengah untuk menyelesaikan makalah yang akan dikumpulkan besok. Namun, tetua di keluarga Scott itu merecoki.
Meutia menoleh dan menatap tidak terima ke pelaku yang memprotesnya. “Kenapa, sih? Oma kan juga pengin ngumpul.”
“Ngumpul, sih, ngumpul! Tapi enggak pakai ngajakin mereka nge-game juga, Omaaa.” Mulut Zea melancarkan balasan, sementara tangan kirinya menengadah ke printer di mana hasil cetak gambar anatomi jantung keluar sebentar lagi.
“Udah, sih!” Tangan kiri Erlan iseng meraup wajah kusut Zea. Matanya tidak lepas dari layar gawai.
Sejurus kemudian, Zea menepuk bahu kiri Erlan menggunakan buku Biologi sembari berseru, “Berhenti main! Kamu mau belajar apa nge-game?”
Fokus seorang gadis seusia mereka yang sejak tadi menyusun konsep bahan presentasi pun buyar juga. “Jangan galak-galak ngapa, Ze!” tukasnya.
Berkebalikan dengan saudara kembar tidak identik Shinta, Rama. Keributan itu jelas terdengar di telinga Rama, tetapi dia terlihat cuek meskipun sebenarnya sesekali melirik layar ponsel yang tengah menampilkan halaman Hay Day. Dirinya pintar mengatur posisi benda canggih itu—diletakkan di kanan laptop. Membuatnya tidak terlihat jelas oleh Zea yang posisi duduknya di pinggir kiri, sementara Erlan ada di antara mereka berdua. Dia sengaja melakukan itu supaya tidak menjadi sasaran teriakan Zea, seperti halnya Erlan barusan. Dia ingin berlagak alim di depan Zea, padahal mah …!
“Tuh, dengerin apa kata—”
Tidak mau mendengar bantahan, Zea menjulurkan tangan untuk meraih benda di tangan Erlan. Namun, Erlan berhasil menjauhkannya dengan gesit. “Berhenti atau namamu aku coret dari daftar warisan nilai?” ancamnya.
“Eh, ampun, ampun!” Erlan memasang wajah memelas sebelum menutup permainan.
Zea mencebikkan bibir sebelum memotong hasil cetakan berupa anatomi jantung. Setelahnya, dia dan ketiga anggota kelompoknya mulai serius mengerjakan tugas. Hanya terdengar suara “criiing, criiing” setiap panen atau mendapat bintang dan musik khas Hay Day dari ponsel canggih milik Meutia.
“Mbak Pit?” Meutia mengalihkan tatap ke sosok perempuan berusia 23 tahun yang tertangkap di ekor matanya.
“Iya, Oma?” Pita yang baru saja datang untuk dinas sore berjalan mendekat. Tangan kanannya menggenggam hendel keranjang belanjaan. Ada helaian daun kangkung yang terkulai di bibir keranjang.