“Jam segini kok baru pulang? Main ke mana dulu kamu, Fer?”
Langkah Fera terhenti mendengar suara sinis dari arah sofa di sisi kiri saat dirinya melintas di ruang tengah. Menoleh, matanya menangkap tatapan tajam Meutia.
“Kuliahlah, Oma!” Fera langsung kesal karena ditanya begitu.
“Kuliah sampai jam segini?” selidik Meutia.
“Lanjut main dulu sama teman-teman,” sahut Fera enteng, lalu membaca huruf-huruf yang menyala putih pada jam dinding tanpa angka—model modern. “Baru juga jam delapan.”
Meutia ikut melirik ke penunjuk waktu itu, lalu menghela napas pendek dan kembali menatap intens cucu pertamanya. “Jam delapannya udah lewat 45 menit, Fera. Kamu tuh … main enggak tahu waktu!”
Fera memutar bola mata. Dia langsung panas mendapat omelan Meutia di saat tubuh dan otak sudah lelah setelah seharian konsul proposal magang serta refreshing bersama para temannya. Ingin hati langsung bisa istirahat begitu sampai di rumah, tetapi Meutia membuatnya tidak demikian.
“Adek kamu juga itu ke mana? Dari tadi pagi sekolah belum pulang-pulang juga.” Perempuan yang dilanda kesepian sejak Mbak Pita pulang tadi siang selepas mengurus rumah itu pun mengeluarkan unek-unek.
“Tanya sendiri ke anaknya,” ketus Fera bodo amat.
Meutia sempat chat dan bahkan telepon dan mendapatkan kabar kalau Zea masih di sekolah untuk mengerjakan agenda OSIS. Namun, saat Magrib menjelang dan dirinya menanyakan keberadaaan lagi, Zea tidak membalas. Meminta Erlan untuk menemani juga tidak mungkin karena cowok remaja itu bersama Zea. Opsi akan keberadaan Dewa pun impossible karena sosok yang disukai cucunya itu sedang bertemu dengan sang paman untuk mengurus usaha toko perhiasan dan elektronik peninggalan mendiang orangtua. Intinya, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa diharapkan untuk menemani.
“Kamu jadi kakak tuh kok kasih contoh yang buruk buat adeknya, sih? Zea jadi ikut-ikutan pulang malam begini.”
Mata hitam yang lebih lebar daripada Zea itu menyorot Meutia menantang. Wajah capainya terlihat semakin kusut karena kesal. Dia tidak terima dicap seperti itu. “Oma enggak usah ngomel mulu deh! Aku lelah. Oma juga … kayak enggak pernah kuliah aja!”
Fera bergegas melangkah menuju kamar sebelum bibirnya benar-benar terkatup. Sedetik lebih lama tetap berdiri akan membuatnya semakin panas karena Meutia pasti akan menyahut lagi.
Meutia terdiam duduk di sofa. Lahan Hay Day dia biarkan di pangkuan, sementara matanya mengikuti ke mana gadis berusia 21 tahun itu pergi.
***&***