“Zea, Mama mau tanya. Kenapa kamu pakai bohong ke Oma?” telusur Dewi saat anaknya itu melintas di ruang keluarga.
Zea membenarkan selempang tas ransel biru dongkernya di kedua bahu. Matanya bergulir ke arah kiri, menghindari tatapan sang mama sejenak. Lantas dia melirik protes pada perempuan yang melahirkannya nyaris tujuh belas tahun lalu itu. “Aku pengin main, Ma.”
Kedua lengan Dewi terlipat di depan dada. “Iya, tapi kenapa pakai bohong?” cecarnya ingin segera mendapat jawaban.
“Iya nanti Oma jadinya ikut. Aku kan sama teman-teman beda kelas juga. Ogah dikatain anak oma mulu, kayak aku enggak punya mama aja,” sarkas Zea. Air mukanya nampak tidak bersahabat.
“Lihat tuh! Oma jadinya ngambek.” Dewi mengendikkan dahu ke arah pintu kamar mertuanya.
“Entar juga baikan,” celetuk Zea enteng seraya mulai melangkah keluar rumah.
Erlan yang masih duduk manis di kursi makan dan menikmati anggur hijau mengekor mau tidak mau. Ia tidak lupa berpamitan dengan mencium punggung tangan Dewi dan memberi salam.
Di luar halaman, Zea terus melangkah menuju pintu gerbang hitam setinggi 2 meter dengan bibir mengerucut. Erlan meneriakinya pun dia acuh.
“Mau jalan kaki?” ledek Erlan saat berhasil menyusul sahabatnya itu menggunakan motor. Lantas ia menyerahkan helm untuk dipakai Zea.
Zea menggetok kepala cowok berlogat Inggris itu menggunakan kepalan tangan sambil berkata, “Hiih!”
“Duh! Apaan, sih, Zee?” Erlan memegang helmnya yang tidak bergeser seinchi pun. Dia tahu kalau gadis yang tengah memasang pelindung kepala berwarna hitam itu sedang dilanda gemas.
Setiap hari bergaul dengan Zea membuatnya hafal setiap gerak-gerik gadis tersebut. Seperti sekarang ini, kegemasan Zea timbul karena ditegur main.
Selama perjalanan ke sekolah, Zea terus mengeluarkan unek-unek. Suasana Jakarta di pagi hari tidak jarang membuat suaranya tertelan oleh bisingnya kendaraan. Juga membuat telinga Erlan tidak secara penuh menangkap celotehannya.
***&***
Layar ponsel berlogo apel digigit milik Zea terus menyala sejak istirhat pertama. “Oma Gaulku” memenuhi deretan histori untuk panggilan tidak terjawab. Kesebelas kali ini Zea mengabaikan omanya. Deretan pesan WA juga tidak ia gubris.Meskipun sejak tadi Erlan menegur untuk mengangkat atau minimal membalas pesan Meutia, tetapi Zea keras kepala. Dia masih ingin diam dan menjauh dari urusan yang berghubungan dengan orang-orang rumah. Bahkan sejak keluar dari gerbang rumah tadi pagi, dia berpikir untuk menumpang tidur di rumah Erlan malam ini. Terlebih lagi besok tanggal merah.
“Masih belum mau mengangkat Oma?” Erlan merebut ponsel di tangan kiri Zea saat mereka keluar kelas di jam pulang sekolah.
“Ya kali, Oma diangkat. Berat, tahu?” celetuk Zea seraya mengambil alih ponsel, tetapi gagal karena perbedaan tinggi badan. Cowok itu jinjit pula.
Sambil mendongak, Erlan mengintip tulisan di layar dan tertera nama sosok yang dikenalnya. Lantas ia mengembalikan ponsel ke pemilikinya.
Bibir Zea mencebik, sedangkan tangannya menerima benda itu. Senyum yang sejak pagi tidak terlihat kini terbit begitu tahu siapa pengirim chat WA teratas. Langsung saja Zea berjalan riang, padahal detik lalu seperti ayam kelaparan—tidak bersemangat. Dia sampai lupa daratan hanya karena pesan dari orang tersebut.
Kak Dewa : Kamu lagi marahan sama Oma, ya?
Me : Nggak, lagi mode ngambek sama orang-orang rumah. Entar malam aku nginep rumah.
Tidak sampai lima hitungan mengirim pesan tersebut, Zea mendapat balasan.
Kak Dewa : Oke.
Kepalanya mundur saat sebuah telapak tangan besar menempel di dahi. Sampai-sampai ia mengentikan kaki. Menoleh ke kiri, ia menatap tajam si pelaku.
“Kamu sehat?” sindir Erlan.
Zea menepis lengan itu dengan menampakkan wajah masam, lalu kembali berjalan dan air mukanya sudah kembali jernih. Bahkan sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Sehat dong!” sahutnya sambil berjalan riang.