Zea berjalan mendahuli Erlan menuju ruang baca yang kerap mereka gunakan untuk tiduran juga. Gaya berjalannya mirip ayam kelaparan karena mendengar jawaban Dewa saat Meutia memintanya menginap sekalian. Lelaki itu sedang sibuk menyusun proposal skripsi, tidak kecuali malam ini, sehingga lebih memilih pulang. Ada kecewa yang hinggap di hatinya karena Dewa tidak ikut menginap.
“Kenapa kamu?” tanya Erlan pura-pura tidak tahu saat mereka sudah ada di lantai dua.
“Tahu, ah!” Zea mengibaskan tangan ke sisi wajah, lalu merebahkan diri. Kepalanya menoleh ke cowok yang tengah melepas hoodie putih. “Lan, ambilin guling dong!”
Erlan menghentikan gerakan tangan. Kepalanya menyembul dan menatap protes si pemberi perintah.
“Lan ….” Zea memasang wajah lesu.
Erlan yang tidak serius memberikan reaksi wajah tersebut pun menyahut, “Iya, iya.” Lantas dia kembali menarik pakaian tersebut hingga lepas dari tubuh.
Zea menyengir puas. Dirinya selalu suka saat cowok itu menuruti apa maunya.
Sembari menunggu Erlan, Zea mengambil remot dan menyalakan televisi. Dia mencari saluran TV on demands, lalu memilih sebuah drama Korea yang episode barunya tayang kemarin dan tadi siang. Malam ini dirinya akan menghabiskan dua bagian terbarunya yang masing-masing berdurasi sekitar 1 jam. Toh besok libur ini, sehingga tidak perlu khawatir akan kesiangan dan terlambat berangkat sekolah.
Sebuah guling berlinen cokelat dengan garis-garis putih mengenai wajahnya tiba-tiba. Membuatnya mengaduh, lalu menoleh ke si pelaku. “Ikhlas enggak, sih?” keluhnya.
“Iya, iya, ikhlas.” Erlan menempatkan bantal yang diambilnya ke sebelah kiri Zea. Dia menekuk jadi dua, lalu menindihnya menggunakan kepala. Lantas jemarinya berselancar ke skrin ponsel untuk bermain Hay Day.
“Aaaa!” Tanpa tanda atau aba-aba, Zea berteriak histeris. Dia meletakkan genggaman tangan ke dada. Seolah di dalam telapaknya itu ada sebuah hati.
“He, nyebut!” tegur Erlan yang merasa terganggu.
“Lan, mereka berpisah. Hotelnya pindah dan Yeo Jin Go enggak tahu.” Suara Zea terdengar murung seperti wajahnya.
Zea mengabari hal yang tidak dimengerti oleh Erlan. Memang, dirinya selalu menemani Zea menonton. Namun, fokus matanya lebih tertarik ke Hay Day daripada drama yang menurutnya tidak masuk akal dan kerap membuat para penonton halusinasi, tidak terkecuali gadis di sampingnya ini. Bahkan detik ini Zea sedang perang emsi hanya karena menonton drama hotel berhantu. Hotel de Luna, dirinya tahu judul dan bukan berarti tahu juga ceritanya.
“Oooh, aku tahu sekarang,” gumam Erlan tiba-tiba.
“Apa, apa? Gimana?” Zea mengalihkan pandangan dari layar televisi ke cowok yang poninya ditata ke atas itu. Meskipun ini sudah malam, penampilan Erlan selalu terlihat rapi dan fresh. Zea terkadang suka heran dan iri sebagai lawan jenis.
“Kamu ….” Telunjuk Erlan mengarah ke wajah penasaran Zea. “Nahan aku buat pulang karena takut tidur.”
Zea langsung tahu ke mana arah ucapan tersebut. Dia yang tadinya mengira Zelan tahu jawaban misteri di dalam drama itu pun mendesah kecewa. “Enggak mau?”
“Iya, iya.”
Sekali lagi, Zea tersenyum semringah mendengar jawaban semacam itu.
Criing criing!
Criing criing!
Entah sudah keberapa kali ini Erlan memanen hasil tanamnya di Hay Day. Membuat Zea akhirnya memberikan tatapan tajam. Gadis itu tidak konsentrasi karena suara back sound dan musik di permainan tersebut.
“Erlan, matiin musiknya, ih!” pintanya galak.
“Hmm.” Tiga detik kemudian, tanda garis miring muncul di bagian pengaturan suara.
Jam menunjukkan pukul 23.11 WIB saat Zea menghabiskan dua episodenya. Sementara tadi dia khidmat menikmati alur ceritanya, sosok cowok yang berbaring di samping tidak ada tanda-tanda pergerakan.
Zea menghela, lalu bergumam, “Pantas enggak ada suaranya.”
Lantas dia mematikan televisi, lalu mengecek ponsel yang lama menganggur karena ditinggal menonton. Matanya sempat melebar saat membaca pesan dari Shinta yang mengabari jika Riana dan geng membicarakan dirinya yang sebentar lagi ulang tahun. Menurut mereka, dia akan membawa Meutia lagi ke acara tersebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Ya, meskipun dua tahun lalu saat dia ulang tahun sang opa masih ada, tetapi tetap saja Meutia sudah sering mengekorinya. Dan begitu Opa Julius Scoot tiada … omanya semakin gencar kepo kegiatannya!
Kesal dengan kabar tersebut, Zea meletakkan ponsel. Kedua tangannya pindah sibuk menggoyang-goyangkan Erlan yang sudah tertidur entah sejak kapan, dirinya tidak tahu. “Lan, Erlaaan?”
Hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari bibir yang bentuknya lagi-lagi bikin kaum hawa iri—karena nampak seksi dan proporsional.
“Erlan, ih!” Satu tabokan mendarat di paha berbalut celana jin pendek cowok tersebut. Beberapa saat tidak ada hasil, dia melancarkan gelitikan.
Erlan langsung menggeliat dan membuka mata. “Iya, iya. Ampun, Ze!”
Zea menarik guling yang diapit oleh kaki Erlan. “Bantuin tidur!”