Dewi yang baru 10 menit lalu tiba di rumah menepis cekalan Zea. Wajah lelahnya berubah keruh saat mendapati Zea yang terus merengek. “Udahlah, Ze! Kalau papamu bilang enggak, Mama juga enggak.”
Zea cemberut dan menatap kesal sang mama. “Kenapa kalian enggak bisa ngizinin Oma pergi, sih?”
“Tanya aja ke papamu!” titah Dewi dengan enggan. “Arisan aja Papa enggak kasih izin, apalagi reuni besar.” Lantas dia bergerak menaiki tangga.
Sementara itu, Zea masih tetap di ruang tengah untuk lanjut menonton. Namun, pikirannya tidak bisa fokus ke drama yang sedang tayang karena masalah sang oma mengganggunya. Hal itu menyeret ingatannya pada kejadian tahun lalu di mana Meutia ikut di perayaan ulang tahunnya sebagai ganti tidak diperbolehkan reuni. Dua tahun sebelumnya juga demikian, tetapi bukan karena reuni, melainkan almarhum Julius Scott yang pergi ke Skotlandia, kampung halaman Julius dan tempat tinggal adik papanya. Opanya ke sana bersama dengan Maranta. Omanya itu iri, sehingga uring-uringan sendiri dan membuat seisi rumah dibuat pusing. Alhasil, dirinyalah yang menjadi tumbal.
Tidak heran jika Zea mendapat julukan Anak Oma, terutama dari Rania, teman sekelas yang suka sekali mengejeknya. Hanya karena Rania cemburu dengan Erlan yang bersahabat dengannya, sehingga gadis tersebut jadi memusuhinya. Ha, cinta memang bisa membuat orang sepicik itu! Lagi-lagi, dirinyalah yang menjadi korban. Bukankah seharusnya Erlan yang Rania musuhi karena tidak membalas cintanya?
Ngomong-ngomong tentang satu rasa itu … otak Zea memunculkan satu nama yang diyakini bisa memberikan jalan keluar.
Zea meraih ponsel yang tergeletak di sofa sebelah kanan, lalu menekan gambar telepon di room chat-nya dengan Dewandaru Pratama. Di dering kelima, suara dalam dan berat di seberang telepon menyapa. Senyum lebar tersungging di bibir pink pucat alaminya.
“Kak Dewaaa!” teriaknya, seolah otak lelaki itu tidak dapat merespons suara dengan jelas dalam gelombang alpha.
“Iya, Zea?Kamu itu cewek, suaranya dikontrol kenapa, sih?”
Zea mendengkus dalam hati karena langsung mendapat kritikan. Namun, itu tidak mengubah suasana hatinya yang girang karena Dewa mengangkat teleponnya.
“Kak …?” Zea setengah merajuk manja. Jurus andalannya jika menginginkan sesuatu.
Mengenal Zea sejak gadis tersebut masih bau kencur membuatnya paham gelagat semacam ini.“Apa? Mau apa kamu?” Suaranya berubah datar, tetapi ingin tahu.
Belum luang menjawab, satu jitakan mendarat mulus ke kepala. “Cengagas-cengeges sendiri.”
Zea mengaduh dan agak mendongak untuk menatap tajam si pelaku. Lengkungan di bibirnya langsung sirna. “Pulang sana!” usirnya kemudian.
Erlan menganggap itu hanya angin lalu. Dia mengambil area kosong sofa di kanan Zea dengan santainya. Meluruskan pandangan ke televisi adalah pilihannya karena tidak suka melihat wajah Zea yang kembali terang.
“Erlan masih di situ?” Dewa yang tengah berada di rumah omnya tidak tahu jika sang adik belum pulang.
“Iya, masih. Aku suruh pulang malah duduk.”
Detik berikutnya, Erlan menyambar benda pipih nan canggih yang menempel di telinga Zea. Dia sempat melirik angka di sudut layar yang menunjukkan waktu 21.05 WIB sebelum mendekatkan bibir ke mik. Lantas dirinya bertanya, “Kak Dewa nginep di rumah Paman Lukas, kan?”
Paman bernama Lukas itu adalah kakak pertama papa mereka. Awalnya, lelaki tersebut sekeluarga tinggal di Britania Raya. Namun, memutuskan tinggal di Indonesia dua tahun sebelum orangtua mereka meninggal.
“Iya. Ya, sudah kalau kalau kamu mau nginep sana.”