OMBAK

Yuditeha
Chapter #1

Berita Duka

Salimi—begitu orang-orang memanggilnya—nama yang melekat kuat dalam ingatanku. Paman Salimi yang keras kepala, penuh semangat, dan tak kenal takut. Ia adalah seorang aktivis lingkungan yang tanpa henti memperjuangkan keadilan alam. Di wilayah kami, Pantai Srondol, namanya telah menjadi sinonim dengan perjuangan untuk menyelamatkan lingkungan dari kehancuran. Ia tidak hanya dikenal sebagai paman dalam keluargaku, tetapi juga sebagai penjaga tak resmi dari pantai yang indah ini, yang perlahan direnggut oleh keserakahan manusia.

Aku masih bisa memaklumi jika koran, majalah, tabloid, dan media sosial banyak yang membicarakan tentang kematian pamanku. Dalam hati, aku menaruh hormat pada mereka. Meski tak semua tulisannya sepenuhnya benar, tapi kurasa hal itu bisa menjadi bukti bahwa sebagian warga negara ini masih punya hati yang welas. Masih ada orang-orang yang mau meluangkan waktu mereka, menuliskan simpati, menyebarkan kabar duka itu dengan harapan ada pelajaran yang bisa diambil. Terlepas dari kepalsuan atau kebenaran yang terselip di antara narasi-narasi tersebut, kematian pamanku seolah menarik banyak perhatian.

Paman Salimi orang baik. Ia dikenal banyak orang di kampung halaman kami sebagai sosok yang dermawan dan sederhana. Sederhana dalam penampilan, tapi kompleks dalam pemikirannya. Ia selalu memiliki cara pandang yang unik tentang dunia, sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti oleh kebanyakan orang. Tapi bagiku, Paman Salimi adalah guru kehidupan. Di balik senyum tenangnya, tersembunyi lautan pemikiran yang dalam. Aku sering kali tenggelam dalam obrolan dengannya, terpesona oleh cara pandangnya tentang politik, kehidupan, dan masa depan bangsa ini.

Namun, kematiannya datang begitu mendadak. Dalam hitungan hari, semuanya berubah. Paman Salimi ditemukan tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan, bersimbah darah. Luka di tubuhnya membuat polisi menyimpulkan bahwa ia tewas akibat pembunuhan. Tak butuh waktu lama hingga berita tentang kematiannya menyebar luas. Awalnya, hanya tetangga dan beberapa teman dekat yang datang ke rumah untuk memberikan belasungkawa. Tapi tak lama kemudian, hal itu berkembang menjadi peristiwa nasional. Semua media, baik cetak maupun digital, berbondong-bondong meliput kejadian ini.

Aku yang masih berduka, merasa sedikit terhibur oleh perhatian itu. Setidaknya, ada orang-orang yang masih peduli dengan sosok paman. Tapi seiring berjalannya waktu, simpati yang muncul di media mulai terasa seperti sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dingin, bahkan berbahaya. Berita yang disajikan mulai meresahkan, mengarah pada spekulasi yang liar. Dugaan-dugaan tentang penyebab kematian Paman Salimi mulai bermunculan, beberapa bahkan menyebut adanya konspirasi politik besar di balik kematiannya.

Aku terdiam, menggenggam koran yang judul utamanya menampilkan nama pamanku di halaman depan: "Misteri Kematian Salimi Harahap: Terlibat Kasus Penggelapan atau Pembunuhan Politik?".

Matahari baru saja terbit ketika aku memutuskan untuk keluar rumah, menenangkan diri di beranda depan. Udara pagi ini masih dingin, dengan embun yang menempel di dedaunan halaman. Aku duduk di kursi kayu tua peninggalan paman, menghela napas dalam-dalam sembari mengamati koran di tanganku. Rasanya sulit mempercayai bahwa nama keluarga kami sekarang terlibat dalam skandal sebesar ini. Apakah ini yang Paman Salimi inginkan? Tidak mungkin.

Paman bukan orang yang suka menarik perhatian, apalagi terlibat dalam perkara seperti yang diberitakan. Ia hidup dengan prinsip kehormatan dan kejujuran. Jadi bagaimana mungkin ia sekarang disebut-sebut dalam konteks penggelapan uang atau bahkan motif politik?

Kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan yang tak terjawab. Pikiran-pikiran liar mulai muncul—benarkah Paman dibunuh karena politik? Jika ya, siapa yang bertanggung jawab? Mengapa sekarang semua orang tiba-tiba tertarik pada kehidupan pribadinya?

Aku menutup koran itu dengan kesal. Sebagian besar berita yang kutemukan lebih mirip dengan teori konspirasi daripada laporan jurnalistik yang serius. Aku tahu Paman punya banyak musuh, tapi aku tak pernah menyangka semuanya akan berujung seperti ini. Lalu teleponku berdering, menyadarkanku dari lamunan. Nama yang muncul di layar membuatku segera menjawabnya.

“Dira, ini aku,” suara dari seberang telepon itu milik Kani, kekasihku. Dia juga sangat dekat dengan paman, bahkan lebih daripada aku. Kami tumbuh bersama, sering menghabiskan liburan sekolah di rumah paman.

“Aku sudah baca beritanya,” lanjutnya tanpa memberi jeda, suaranya terdengar gemetar, “ini gila. Mereka benar-benar menulis apa saja untuk meningkatkan oplah. Apa kamu baik-baik saja?”

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab, “Aku tidak tahu, Kan. Rasanya ini semua terlalu cepat. Satu hari paman masih ada di sini, hari berikutnya namanya muncul di semua berita dengan segala spekulasi yang mereka buat. Aku nggak tahu harus percaya yang mana.”

“Ya, aku juga merasa seperti itu,” sahut Kani. “Aku baru saja bicara dengan bapakku, dan dia bilang kita harus segera mengunjungi rumah paman.”

Lihat selengkapnya