Pantai Srondol dulunya adalah tempat yang penuh dengan keindahan. Aku masih ingat masa kecilku yang dihabiskan bersama Paman Salimi di sana. Setiap akhir pekan, ia mengajakku berjalan di sepanjang pantai. Kami menyusuri pasir putih yang lembut, mendengar ombak yang menghantam pantai, dan menyaksikan burung-burung beterbangan di langit biru. Paman selalu berbicara tentang pentingnya menjaga alam, betapa alam memberi kita kehidupan, dan bahwa kita, manusia, harus melindunginya.
Tiba-tiba Pantai Srondol berubah drastis. Penambangan pasir yang tak terkendali mulai menggerogoti keindahannya. Pasir-pasir yang dulunya membentang luas dan mengilap, kini terkeruk, meninggalkan lubang-lubang besar yang membuat pantai tampak rusak. Di tepi pantai, truk-truk besar keluar masuk tanpa henti, mengangkut pasir seolah itu hanya tumpukan benda tak bernilai. Penambangan pasir di pantai ini bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga mengancam ekosistem yang ada di dalamnya. Erosi tanah semakin parah, menyebabkan beberapa bagian pantai mulai menghilang. Tanaman mangrove yang dulunya menghiasi pinggiran pantai juga ikut terancam punah.
Masih jelas di ingatanku, Paman Salimi, saat itu tidak tinggal diam. Ia menjadi yang terdepan dalam menentang penambangan pasir ini. Kritiknya sangat tajam dan terbuka. Di setiap kesempatan, baik itu di rapat warga, media sosial, atau pertemuan-pertemuan resmi, ia selalu menyuarakan perlunya menghentikan praktik yang merusak ini. Ia mengatakan bahwa penambangan pasir secara masif tidak hanya merusak pantai, tapi juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar. Banyak nelayan yang mengeluh karena hasil tangkapan mereka semakin sedikit, sementara tanah-tanah di sekitar pantai mulai longsor dan membahayakan pemukiman penduduk.
“Jika ini dibiarkan, kita akan kehilangan pantai ini selamanya,” katanya dengan nada geram, suatu ketika saat kami duduk di atas karang yang menjorok ke laut. “Pantai Srondol adalah rumah kita. Ini adalah warisan yang harus kita jaga. Tapi mereka datang, merusaknya demi keuntungan pribadi.”
Paman benar-benar tidak bisa menoleransi ketidakadilan ini. Bukan hanya untuk alam, tapi juga untuk masyarakat. Penambangan pasir tidak memberikan manfaat bagi warga sekitar. Para penambang yang datang berasal dari luar daerah, bekerja untuk perusahaan-perusahaan besar yang tidak memedulikan kerusakan yang mereka timbulkan. Sebagian besar keuntungan masuk ke kantong para pengusaha, sementara warga lokal hanya menerima dampaknya. Nelayan kehilangan sumber penghidupan, dan anak-anak tidak lagi bisa bermain di pantai seperti dulu.
Namun, di balik semangatnya yang berapi-api, aku tahu ada ketakutan yang mengintai paman. Di antara percakapan kami yang penuh dengan semangat perjuangan, paman kadang menyebutkan bahwa semakin keras ia berbicara, semakin banyak tekanan yang ia terima. Tidak hanya dari para pengusaha penambangan, tapi juga dari pihak-pihak yang seharusnya melindungi rakyat, pejabat pemerintah setempat.
Suatu sore, setelah hari yang panjang menghadapi protes masyarakat, aku dan paman duduk di ruang tamu rumahnya. Ia menyesap teh hangat yang baru saja kuseduhkan. Aku bisa melihat keletihan di wajahnya, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa.
“Mereka tidak akan berhenti, Dira,” katanya tiba-tiba, memecah keheningan. “Mereka akan terus menambang sampai tak ada lagi yang tersisa. Mereka pikir mereka bisa membeli segalanya, bahkan alam sekalipun.”
Aku tidak bisa membantahnya. Aku tahu apa yang paman katakan adalah kenyataan pahit. Di balik semua perlawanan yang ia lakukan, ada kekuatan besar yang menekan dari balik layar. Paman sering bercerita tentang ancaman-ancaman yang ia terima, baik secara langsung maupun tidak langsung. Telepon gelap, surat peringatan, bahkan tekanan dari pejabat setempat yang seolah tutup mata terhadap kerusakan yang terjadi.