Angin bulan Juli bertiup dengan kencang. Membuat dedaunan kering beterbangan menghiasi pandangan. Sayang, kencangnya angin pagi ini tidak berhasil mematahkan semangat gadis yang baru menginjakkan kaki di SMA Sudirohusodo. Ariella masih sanggup untuk berdiri dengan kokoh di hadapan seniornya. Bagaimana bisa ia berpaling, jika seniornya itu memiliki wajah yang rupawan? Sampai magrib pun ia rela diceramahi asalkan bisa menikmati wajah khas oriental milik seniornya itu.
"Ini baru hari pertama. Kenapa lo bisa telat?" tanya cowok dengan jas almamater berkerah merah yang tak lain adalah senior Ariella. Pemilik kerah berwarna merah tentu bukanlah orang biasa. Warna merah pada kerah itu merupakan simbol sebagai anggota MPK.
Cakep.
Hanya itu yang Ariella tangkap dari makhluk di hadapannya sekarang. Mata Ariella terus saja fokus dengan setiap inci wajah seniornya. Apalagi pada bagian mata, itu adalah favorit Ariella. Mimpi apa ia semalam sampai bisa bertemu dengan pangeran tampan?
"Jawab dong jangan bengong aja!" seru cowok itu dengan nada yang mulai meninggi. Meskipun begitu, sedikit seruan saja tidak akan membuat Ariella bergetar. Kemudian Ariella pun menjawab sambil menampilkan sederet giginya. "Aku bangun kesiangan, Kak. Terus di jalan macet banget. Belum lagi ada lampu merah, kereta api, polisi tidur, jalanan berlubang, nenek-nenek nyebrang, terus masih banyak lagi, deh!"
Setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulut Ariella, cowok itu mengambil satu langkah lebih maju. Lalu, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Lo pikir gue peduli? Mau lo nabrak kambing atau sapi sekalipun gue nggak peduli. Telat, ya, tetap aja telat!"
"Aku juga nggak niat berangkat telat, Kak. Ini semua nggak sengaja," bela Ariella. Ia pikir ketidaksengajaan ini adalah sebuah keajaiban. Siapa sangka akan ada pangeran tampan yang menahannya di depan gerbang? Ia berharap semua ini memang takdir Tuhan. Bukan sekedar kebetulan untuk dipertemukan.
"Tapi masih bisa diantisipasi, kan?"
Mendapatkan pertanyaan seperti itu membuat Ariella menggaruk poninya yang tidak gatal. Kemudian hanya bisa menampilkan cengiran lebar. Melihat ekspresi seperti itu membuat seniornya merasa menang.
"Pertama, lo nggak boleh tidur kemalaman. Kedua, pasang alarm yang banyak kalau bisa tiap lima menit. Ketiga, kalau lo ngerasa rumahnya jauh dan banyak hambatan, lo harus berangkat tiga puluh menit sebelumnya. Catat dan ingat baik-baik di otak lo," jelas seniornya itu.
"Siap, Kak!" balas Ariella dengan semangat sambil menganggukkan kepalanya. Senyum Ariella pun mengembang dengan indah. Kemudian dengan sedikit malu-malu Ariella bertanya, "Nama kakak siapa?"
"Steven. Steven Alvaren," balasnya, "nama lo?"
"Ariella Devara Saqueena," jawab Ariella sembari tersenyum semanis mungkin. Ariella menatap dengan dalam kedua manik mata milik Steven yang sedang menatapnya juga. Mata mereka berdua saling beradu selama persekian detik.
Sungguh. Itu adalah tatapan mata paling indah yang pernah Ariella temui. Sebelumnya ia tak pernah menemukan pasang mata yang seindah ini. Belum lagi, ditambah perasaan hangat yang menyelimuti hatinya. Rasanya damai sekali bisa menatap mata indah milik Steven.
"Ngeliatinnya biasa aja kali," sela Steven sehingga Ariella harus menahan sedikit rasa malu. Dengan pipi yang bersemu merah, Ariella kemudian membalas, "Kakak juga nggak biasa, gimana aku mau biasa?"
"Steven!" teriak seseorang dari kejauhan. Dari suaranya jelas itu adalah suara perempuan. Sang pemilik suara itu pun berlari kecil mendekati Steven. Melalui jas almamater berkerah biru yang ia kenakan, dapat disimpulkan bahwa ia adalah anggota OSIS.
"Dari tadi gue nyariin sampe muter-muter ternyata lo ada di sini," ucap perempuan itu dengan keringat yang membingkai wajahnya. Ariella jadi turut prihatin dan ingin mengelapi keringat pada perempuan itu.
"Ada apa?" tanya Steven to the point.