Ariella sama sekali tidak keberatan menjalani hukumannya. Justru ia merasa sangat beruntung karena bisa berbicara dengan penciptanya. Momen di saat mengutarakan segala isi hati kepada Sang Pencipta memang sangat indah. Ariella merasa semua hal ini memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk dirinya.
"Ya Allah, kenapa Kak Steven ganteng banget, sih? Udah mukanya cakep, matanya lucu, hidungnya mancung, rambutnya kece, badannya tinggi, kulitnya putih, baik lagi. Kurang apalagi coba? Aku rela banget kalau jadi jodohnya," ujar Ariella sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Ya Allah, perasaan apa, ya, ini? Apa ini yang namanya cinta pandangan pertama?" tanyanya dengan bingung. Karena sebelumnya Ariella belum pernah merasakan perasaan seperti ini. Ternyata rasanya ... entahlah begitu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
"Ya Allah, semoga aja Kak Steven itu jodoh aku. Kalau ternyata bukan jodohku, ya, pokoknya harus jadi jodohku. Aku yakin banget pasti dia jodohku," ucap Ariella dengan keyakinan penuh. Sejak dulu memang prinsip hidupnya, sing penting yakin.
Yang penting yakin aja dulu. Setidaknya kalau sudah yakin akan muncul rasa percaya diri. Dan rasa percaya diri inilah yang membuat Ariella terus maju pantang mundur. Semuanya ia trabas. Dengan yakin, semua dapat menjadi mungkin.
"Tapi kalau Kak Steven udah punya pacar gimana?" Sialnya pertanyaan itu seketika terlintas di benak Ariella. Membuat keyakinannya menjadi sedikit goyah. Tidak mungkin, kan, kalau ia harus menjadi perusak hubungan orang?
"Ish! Tapi soal pacar masih belum pasti juga, kan? Lagian kalaupun dia pacarnya, aku ini jodohnya. Pokoknya yakin aja dulu. Harus yakin, yakin, yakin!" ucap Ariella berusaha meyakinkan dirinya kembali. Ia menepis segala kemungkinan buruk dan tetap pada prinsip hidupnya.
Waktu curhat paling baik memang di saat setelah shalat. Penciptanya adalah pemilik segalanya. Ariella dapat dengan bebas berbicara semaunya tanpa ada batasan. Terkadang hal-hal tidak mungkin sekalipun ia ucapkan. Ya, salah satunya seperti ingin menjadi jodoh Steven.
Bagi Ariella, segala sesuatu itu mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin.
Meski sempat ragu, kini tekadnya sudah bulat.
Ariella kemudian melepas mukena yang ia kenakan dan melipatnya dengan rapi. Setelah itu, ia bangkit dan berbalik ke belakang. Namun saat ia berbalik, matanya menangkap sosok yang baru saja diperbincangkan. Hal itu jelas membuat Ariella terkejut.
"Kak Steven?! Sejak kapan kakak ada di situ? Kenapa tiba-tiba ada di belakang aku? Aku pikir kakak nunggu di luar."
"Gue ngecek lo beneran shalat atau nggak. Ternyata doanya aja serius banget," balas Steven sambil mengaitkan kedua tangan di depan dada.
Wajah Ariella seketika memucat. "Kakak denger doa aku?"
"Ya, sedikit."
Mendengar hal itu membuat Ariella meraung-raung tidak jelas. "Ahh! Kenapa kakak nggak ngomong kalau nungguin aku di belakang? Harusnya kakak nggak ada di belakangku. Masa doa orang didengerin, sih? Aku kan malu, Kak. Itu juga privasi aku."
Steven kemudian tertawa karena Ariella terlihat begitu panik dan kacau. "Gue bercanda kali. Gue nggak denger doa itu. Emangnya lo abis doa apaan sampe segitunya?"
"Bukan urusan kakak," jawab Ariella sambil cemberut. Ia merasa kesal karena dipermainkan oleh Steven. Padahal ia sudah panik setengah mati. Ia akan malu sekali jika Steven benar-benar mendengar doanya.
"Yaudah, sekarang ayo ikut gue!" ajak Steven.
"Ke mana?" tanya Ariella masih dengan perasaan sedikit kesal.