On Air

Berthy Adiningsih
Chapter #1

Episode 1

Sebuah taxi berhenti di depan sebuah rumah bergaya Eropa yang megah. Seorang pria muda menarik koper besar produksi terbatas masuk ke dalam rumah setelah taxi itu pergi. Langit masih gelap, namun pria muda itu tak lama keluar lagi dengan pakaian olahraga dan mulai berlari.

***

Suara peluit ditiup saling bersahutan. Beberapa polisi berseragam dengan rompi hijau berlari mengejar para pengendara bermotor di jalur Transjakarta yang sibuk berputar arah untuk menyelamatkan diri.

Di dalam Transjakarta yg sedang terganggu perjalanannya, Damar tampak gelisah sambil berkali-kali melirik jam ditangan kirinya. Sementara itu, penumpang lain sibuk merekam kejadian tadi dengan ponsel mereka. Ponsel disaku jaketnya bergetar dan menarik perhatian beberapa penumpang disekitarnya yg juga bergelantungan di dalam bus Transjakarta yang cukup padat.

"Maaf..." Ucap Damar sambil mengisyaratkan bahwa tangannya sudah terlalu sibuk untuk bisa mengangkat ponsel.

Suara wanita dalam mesin informasi penumpang memperingatkan bahwa bus sudah hampir tiba ke halte tujuannya. Damar bergegas bersiap, mendekat ke pintu keluar.

***

Air dalam panci sudah mendidih. Lian mengangkat panci dan menuangkan tanah ke dalam tungku hingga memastikan apinya mati. Gadis muda itu membilas telur-telur rebus dari dalam panci dengan air dingin lalu mengemasnya ke dalam wadah-wadah plastik murahan kemudian memasukkannya lagi ke dalam tas bersama beberapa buku.

***

Damar berjalan dengan setengah berlari. Ponselnya masih saja terus bergetar. Layar ponsel menunjukkan panggilan berasal dari istrinya. Ia menyambut panggilan telepon istrinya itu dengan ekspresi gusar.

"Apa kita bisa membicarakan apapun yang ingin kamu bicarakan nanti? Aku sudah sangat terlambat." Ia berhenti sejenak, mendengarkan istrinya berbicara di ujung telepon.

"Kita sudah cukup banyak berbicara semalam. Berikan kita kesempatan untuk beristirahat sejenak memikirkan semua yang kita bicarakan semalam. Aku dan kamu. Pulang nanti kit... Halo? Halo? Sayang?" Sambungan terputus.

Sedetik kemudian tubuhnya oleng karena sebuah tubrukan. Seorang gadis muda tersungkur di trotoar. Secara refleks ia memeriksa ponsel dan dompetnya. Aman.

"Maaf." Ujar Damar pada gadis itu. Malu pada reaksinya sendiri.

"Mari saya bantu." Lanjutnya sambil mengulurkan tangan.

"Gapapa, Om. Saya juga minta maaf." Sahut Lian, sambil menyibak rambut yg menutupi wajahnya. Damar tidak tahu harus berbuat apa, pakaian gadis itu kotor dengan debu tapi ia tak bisa sembarangan menyentuh seorang gadis yang tak ia kenal. Lian tersenyum,mbungkukkan sedikit tubuhnya dengan sikap hormat kemudian berlalu. Lian terlihat ceria. Ketika melihat ekspresi itu, Damar menyadari bahwa sejak tadi ia sendirian dalam aura yang suntuk. Tidak dengan gadis itu maupun kehidupan lain disekitarnya. Lalu Damar teringat kenapa ia terburu-buru.

***

Lian duduk di bagian teduh di antara pedagang kaki lima. Ia memungut selembar kertas bekas dan meletakkannya disisinya. Dari dalam tas, ia mengambil wadah plastik berisi telur rebus, mengetukkannya satu di kepala dan mengupasnya satu persatu.

Dihadapannya, seorang laki-laki berusia empat puluhan tengah sibuk melayani para pembeli. Bir pletok agaknya sudah cukup jarang ditemui di wilayah ini, tak heran dagangan ayahnya tidak memiliki pesaing disini. Lian memperhatikan ayahnya dengan sungguh-sungguh. Tubuh ayahnya tidak kekar tapi otot-otot tangannya jelas menunjukkan bahwa ia adalah pria pekerja keras. Wajah ayahnya tidak buruk, namun juga cukup jauh dari tampan. Para pembeli agaknya tidak hanya menyukai resep racikan bir pletok ayahnya, tetapi juga keramahannya ketika melayani mereka. Seandainya ibunya yang sudah tiada ada disini, pasti antrean pembeli itu akan lebih cepat surut dan ayah akan menghabiskan waktunya menunggu pembeli berikutnya dengan pijatan ibunya.

Masih terbayang dalam ingatan Lian ketika dulu ia dan ayahnya bertengkar tak lama setelah kematian ibunya. Lian sedang beranjak remaja dan seorang suami yg masih berduka, mereka masih mudah terprovokasi satu sama lain.

Suatu waktu, Lian nyaris merasakan tamparan ayahnya. Setelah itu Lian pergi dari rumah untuk meredakan panas dihatinya, sama sekali tidak berniat melarikan diri dari rumah. Ia hanya ingin menyendiri sejenak.

Hari itu hujan. Lian berlindung di sebuah komplek pertokoan. Satu persatu orang-orang yang berteduh disekitarnya menemukan cara mereka masing-masing untuk pergi dari sana. Hingga tak ada orang lain selain Lian.

Matanya terpejam menikmati rintik hujan yang memijat wajahnya. Ketika matanya terbuka, ia melihat ayahnya berdiri ditengah hujan dengan dada naik turun. Matanya merah. Tubuhnya basah kuyup padahal tangannya menggenggam payung. Kemudian Lian menyadari bahwa ayahnya habis menangis. Matanya merah karena itu.

Ayahnya sempat diam saja disana dan mereka bertatapan dalam kondisi membeku ditempat masing-masing.

Kemudian ayahnya merasa kakinya terasa lemas hingga nyaris berlutut dihadapannya, "Syukurlah... Syukurlah..."

Lalu Ayahnya menangis lagi. Entah kenapa, Lian ikut menangis karenanya.

Lian tidak bisa melupakan ekspresi ayahnya saat itu. Ia tampak cemas setengah mati. Tapi Lian tidak dimarahi, bahkan bicara pun tidak. Ayahnya hanya duduk disampingnya, melepas sisa-sisa kecemasan yang ada. Kelegaan sudah berhasil menemukan Lian terukir jelas diwajahnya. Entah apa yang dipikirkannya ketika ia mencari putri semata wayangnya itu.

Lian tidak berani bicara saat itu. Mendekat untuk menenangkan ayahnya pun tidak.

Berkali-kali Ayahnya meminta maaf sambil menangis. Lian tidak mengerti kenapa Ayahnya harus meminta maaf jika seharusnya dirinyalah yang lebih pantas mengucapkan itu.

"Maafkan Ayah, Nak... Ayah tidak becus sebagai Ayah... Tidak juga sebagai suami. Kamu dan Ibumu hidup susah selama ini dengan Ayah... Ibumu meninggal pun dalam keadaan miskin bersama Ayah... Maafkan Ayah, Nak..."

Lian tidak bisa berbuat apa-apa, selain ikut menangis. Ia masih tidak bergerak dari duduknya ataupun tergerak mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan Ayahnya. Air mata keduanya mengalir sederas hujan malam itu.

"Kenapa berhenti?" Wawan, Ayah Lian, meraih telur rebus yang belum selesai Lian kupas dari tangannya. Lian tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Sebelum mengatakan apapun, Ayahnya sudah menyuapkan telur rebus yang telah dikupasnya kedalam mulut Lian. Telur itu tidak terlalu besar, hingga bisa disuap seluruhnya.

Dengan mulut yang penuh, Lian tersenyum dan memberikan telur yang sudah dikupasnya ke mulut Ayahnya. Kemudian, ia meminta Ayahnya berbalik badan dengan isyarat akan memijat punggungnya.

Wawan memandang anak-anak sepantar usia putrinya sedang menyembunyikan seragam sekolah mereka dan masuk ke dalam bus. Mereka membolos. Lalu dipandangnya gerobak bir pletok miliknya. Perlahan, ia menggenggam tangan putri semata wayangnya.

"Kenapa, Yah?"

"Kamu... Harus memiliki masa depan yang lebih baik daripada Ayah. Apapun caranya, Ayah akan memperjuangkanmu."

Lian tidak siap dengan kata-kata yang diluncurkan mulut Ayahnya itu. Mendengar kata-kata itu setelah lamunan tadi membuatnya terhenyak dan berkaca-kaca.

Lian mengangguk. Tidak tahu apakah Ayahnya melihat anggukan itu atau tidak.

***

Pakaian olahraga yang dikenakan pria muda itu tampak kuyup oleh keringat. Laju larinya melambat saat hampir mencapai rumah megah itu.

Sosok pria lain, dengan perawakan yang lebih tua dalam balutan kaus katun sederhana sedang sibuk berkebun di salah satu sisi taman. Ketika pria muda itu berada di depan pintu, mereka bertemu pandang.

Pria yang lebih tua menghentikan aktivitasnya, sementara pria yang lebih muda tersenyum sumringah sambil berjalan menghampirinya.

"Anak macam apa yang begitu pulang tidak langsung menyapa orang tuanya." Ujar pria tua itu sambil tersenyum melebarkan kedua tangannya. Sang pria yang lebih muda ikut melebarkan kedua tangannya lalu keduanya berpelukan penuh kerinduan.

"Nuga tidak ingin mengganggu Papa, tadi Nuga nyampenya terlalu pagi. Maaf, ya." Ucapnya dengan aksen bahasa Indonesia yang kurang sempurna.

"Kamu sudah makan?" Pria muda yang menyebut dirinya Nuga itu, menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu ayo sarapan. Kamu duluan, Papa mau cuci tangan dulu." Alih-alih pergi, Nuga malah membereskan peralatan berkebun yang digunakan Papanya tadi dan ikut mencuci tangan bersama.

Melihat itu, pria tua yang dipanggilnya Papa tertawa dan mengacak kepalanya sambil berjalan beriringan masuk ke dalam rumah.

***

Begitu pintu dibuka, tidak ada hal didalam rumah itu yang tidak berhasil membuatnya kagum. Ruang tamu dengan konsep minimalis namun dilengkapi teknologi tinggi dan perabotan karya desainer interior ternama dunia. Bahkan dimata orang yang tidak mengenal nama-nama para desainer itu ataupun merek yang menempel pada produk-produk itupun akan segera menyadari perbedaan kualitas dan kemewahannya. Pencahayaan ruangan yang tepat juga semakin memperkuat keindahan setiap sudut rumah itu.

Pada suatu lorong rumah menuju ruang makan, terdapat rak yang berisi koleksi teknologi masa lalu; mesin ketik dengan tinta karbon, walkman, pager, overhead proyektor, Rom-cartridge, floppy disk, VHS dan laser disc.

Barang-barang itu agaknya bukan sekedar koleksi iseng namun juga memiliki nilai personal yang terlihat dari label yang diberikan dan foto yang mendampingi setiap benda.

Sebuah gramofon dan lemari berisi kepingan hitam lagu dan film juga berada di lorong yang sama, begitupun serangkaian DVD original dengan judul-judul film maupun sinetron lawas serta piagam dari produk komersil.

Di sisi lainnya, pigura mewah membingkai berbagai penghargaan, foto dan momen-momen penting stasiun TV Rate.

Lighting yang diatur sedemikian rupa membuat tempat itu terlihat semakin istimewa. Lorong itu seperti sebuah showroom.

Mereka melewati ruang keluarga yang luas dengan akuarium ukuran raksasa di salah satu sisi ruangan yang dirawat dengan baik. Butuh sekitar lima menit bagi orangtua anak itu untuk sampai ke ruang makan. Salah seorang pelayan berseragam menghampiri mereka.

"Selamat pagi Tuan Halim. Sarapan untuk Tuan sudah tersedia, tapi kami belum tau apa yang Tuan Muda inginkan untuk sarapan pagi ini. Barang-barang Tuan Muda sudah kami kemaskan di kamar Tuan Muda."

"Apa aja boleh. Terima kasih." Sahut Nuga dengan sikap santun.

"Kamu sudah dengar." Ujar Halim kepada pelayan tersebut.

"Baik Tuan. Permisi." Halim menyadari sesuatu dan bertanya kepada pelayan sebelum ia sempat membalikkan badannya.

"Nyonya dimana?"

"Nyonya sedang olahraga, Tuan. Kata beliau, ia akan turun terlambat untuk sarapan bareng karena ingin mandi dulu."

"Baiklah. Silahkan lanjutkan. Terima kasih."

***

Tubuh wanita berusia pertengahan empat puluhan itu terlihat lentur melakukan gerakan pilates di balkon kamarnya yang asri. Sama sekali sulit mengakui bahwa ia adalah wanita yang sudah akan memasuki usia 50 tahun. Kecantikannya terlihat jelas meskipun wajahnya yang tanpa polesan makeup tengah berselimut peluh.

Kibasan gorden yang tertiup angin merekam siluet tubuh wanita tersebut saat melakukan gerakan terakhir. Sangat indah.

Wanita itu memperbaiki kunciran rambutnya sebelum mengemaskan matras yang ia gunakan dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Di atas meja, pelayan sudah menyiapkan jamu dalam kemasan sambil membaca tabloid bisnis.

Angin meniup lembut anak rambut wanita itu, pelan-pelan peluh ditubuhnya mengering.

Seorang pelayan keluar dari kamar mandi dan menghampirinya, "Airnya sudah siap, Nyonya Maya."

Maya meletakkan tabloid ditangannya dan mengangguk ke arah si pelayan. Kemudian pelayan itu undur diri.

Uap air dalam bathtub membawa aroma bunga mawar menyeruak di udara kamar mandi dengan dinding dan tiang-tiang berlapiskan marmer marbel keemasan dengan pencahayaan remang yang menawan.

Cermin besar dengan deretan kosmetik mahal berjejer didepannya, sebuah sofa berwarna putih dan TV sebesar dua puluh inci menjadi objek perhatian lain di kamar mandi mewah itu. Maya melepas jas mandinya dan menikmati berendam dalam air mawar di pagi hari.

***

"Tuan Muda..." Gumam Nuga sambil membukakan kursi untuk Papanya.

"Kenapa?" Tanya Halim.

"Nuga ga pernah terbiasa dengan panggilan seperti itu, Pa." Sahutnya sambil meringis.

"Bilang saja sama mereka." Kata Halim santai.

"...tapi setau Papa, mereka juga tidak nyaman jika hanya memanggil kita dengan seadanya." Lanjutnya kemudian.

"Waktu Nuga magang di resto pizza, kakek pemilik resto hanya ingin dipanggil nama." Nuga mengambil piring Halim dan menyendokkan campuran sayur ke atasnya.

"Saus kacangnya jangan terlalu banyak." Kata Halim ketika Nuga akan menyendokkan saus kacang diatas pecel sayuran dipiringnya.

Lihat selengkapnya