"Papa parkirin mobil dulu, kamu masuk duluan deh." Ucap Hanif pada Sara yang melepas sabuk pengamannya. Sara mengangguk, mengambil tas dari kursi belakang dan keluar dari mobilnya.
Kemudian ponselnya berdering dari dalam tas. Sara duduk di kursi teras sambil melepaskan sepatunya dan mengangkat telepon.
"Halo?" Sara mendengarkan dengan cermat lawan bicaranya diseberang telepon.
"Oke. Jam 7." Sahutnya setelah beberapa saat. Lalu menutup telepon bersamaan dengan kejadian ayahnya.
"Loh? Kok belum masuk?" Ujar Hanif heran.
"Barusan nerima telepon, Pa."
"Oh. Kuy, masuk." Sahut Hanif sambil melepas dan menenteng sendalnya. Jawaban sok gaul Papanya membuat Sara mengulum senyum.
"Sini. Biar Sara yang masukin ke rak sepatu."
Begitu pintu dibuka, Hanif mengendus aroma samar di udara lalu keduanya saling bertatapan.
"Semur ayam." Ucap mereka hampir bersamaan.
***
Begitu Hanif dan Sara masuk ke ruang makan, Ella tengah menaburi bawang merah goreng diatas semur dan memperbaiki tatanan hidangan lainnya diatas meja.
"Sepertinya kami pulang tepat waktu ya Ella." Ujar Hanif sambil berjalan mendekati meja makan.
"Mas Hanif, Sara... Tepat waktu sekali. Semur ayamnya baru saja diangkat. Ayo makan. Mumpung masih hangat." Sahut Ella sambil tersenyum. Angin menyibak rambut panjang terurainya yang berwarna perak hingga menyapu wajahnya yang polos berseri. Hanif memandang wajah istrinya dengan ekspresi terpesona.
Sara berpura-pura tidak melihat dan langsung duduk di meja makan.
"Kipas anginnya bikin Mama keliatan kayak lagi dalam adegan film." Ella tertawa kecil lalu mematikan kipas angin yang berputar didekatnya. Sebelum Sara mengambil sendok, Ella menahan pundaknya.
"Cuci tangan dulu. Barusan dari luar rumah."
***
Sara membereskan piring-piring kotor yang ada dimeja dan membawanya ke dapur, sementara Ella mengemas sisa makanan yang belum habis ke dalam kulkas. Hanif mengelap sisa kotoran yang menempel di atas meja makan dan membuang tisunya ke tempat sampah sesuai kriterianya.
"Aku tidak menyesal menikahi istri cantik yang pandai masak seperti kamu."
"Dipuji tiba-tiba tanpa ada apa-apa malah bikin merinding tau Pa..." Sahut Ella geli.
"Uhuk! Tolong diingat masih ada Sara disini, Pa. Jangan dijadikan obat nyamuk dong!" Sela Sara sambil mulai mencuci piring. Kedua orangtuanya tertawa mendengarnya.
"Mandilah dulu. Handuk dan piyamanya sudah disiapkan di atas kasur."
"Nanti kopernya biar Sara bantuin kemasin." Sahut Sara menyusul perkataan ibunya.
"Baik, baik. Kehadiran Papa sedang tidak diharapkan disini." Canda Hanif sambil berjalan santai menuju kamarnya. Ella membantu Sara mengelap piring sambil mengajaknya berbincang.
"Jadi gimana urusan kamu dikampus?"
"Udah beres sih, Ma. Sara tinggal konsulin lagi draft naskah jurnal skripsi Sara sebelum dikirim lusa. Pembimbing dua tidak ada masalah dengan draft, tapi masih perlu konsul lagi dengan pembimbing pertama."
"Perlu bantuan Mama ga ?"
"Ga, Ma. Alhamdulillah belum perlu. Makasih ya udah nawarin."
"Gimana kerjaan kamu?" Tanya Ella lagi beberapa saat kemudian.
"Sara jadi tim editor buat Youtuber dan masih jadi fotografer wedding sih, Ma."
"Oh, ya?"
"He-em. Kalo yang fotografer itu usahanya masih kecil sih, Ma. Tapi lebih stabil. Soalnya selalu ada aja orderan. Kalau yang editor ini, Sara masih anak baru Ma. Mereka masih nyoba-nyoba."
"Youtuber konten apaan? Jangan asal, ya Sara... Sekarang banyak Youtuber yang kontennya random dan aneh-aneh."
"Mereka udah lama kok Ma jadi Youtuber. Maksudnya yang Sara ikutin sekarang. Kontennya juga bagus-bagus, cumaa... Subscribernya ga segede yang baru-baru."
"Berarti disana ada editor senior, kan?"
"Ada dong, Ma."
"Lumayan besar juga dong mereka kalau butuh banyak editor."
"Gitulah, Ma. Sebenarnya editor utama mereka sedang disibukkan dengan urusan pribadi." Sara tercenung sesaat, lalu melanjutkan kalimatnya.
"Um... Sara ga enak ngomongin urusan orang, Ma."
"Okee..." Sahut Ella sambil menata peralatan makan ke dalam rak. Sara melepas sarung tangan cucinya dan mengambil segelas air putih.
"Apa nama chanelnya?"
"Mama mau ngapain?"
"Menurut kamu apa?"
"Jangan jadi konten deh."
"Kok kamu mikir gitu?"
"Ng... Sara ga pengen mereka tau Sara anak Mama."
"Kamu malu sama Mama?"
"Enggaaaa... Ish, bukan gitu.."
"Sara pengen dikenal sebagai Sara aja. Bukan Sara anaknya artis."
"Kenapa? Kamu kan memang anaknya Mama dan Mama meskipun udah lama ga nampil, gini-gini juga artis yang banyak dikenal orang."
"Ituu.. Sara ga pengen dibanding-bandingin sama Mama sendiri. Ga nyaman aja. Sara pengen dikenal karena buah kerja Sara sendiri. Sara juga ngerasa orang-orang yang ga tau Sara anak Mama tuh lebih nyaman kalo negur-negur pas Sara bikin salah atau kurang cakap."
"Ooh... Begitu..."
"Iyaaa"
"Tapi kan Mama nanya karena pengen like, subscribe, comment and share."
"Like sama subscribe aja, comment sama sharenya ga usah. Nanti netizen heboh."
"Gitu?"
"Iya." Ella semakin bersemangat menggoda anaknya yang mulai terlihat kesal.
"Kenapa Mama ga boleh jadi konten?"
"Ga usaaah... Mama kan udah lama ga muncul jadi artis, netizen jaman sekarang tuh kejam-kejam."
"Memangnya apa hubungannya?"
"Ya gitu. Udahlah, pokoknya Sara ga mau Mama jadi konten di akun mereka."
"Gitu gimana?" Tanya Ella dengan santai. Sebenarnya ia sudah paham apa yang dikhawatirkan putrinya itu.
"...Maaf, Ma..." Ungkap Sara dengan nada menyesal. Ella hampir saja tergelak.
"Kenapa minta maaf. Mama yang dari tadi godain kamu, Mama dong yang mestinya minta maaf." Ella mendekat dan memeluk putrinya.
"Kamu pasti sudah banyak melewati masa sulit sejak kecil karena Mama, ya? Maafin Mama, ya..." Ucapnya sebelum mengecup kening Sara dan memeluknya sekali lagi.
***
Lian memberikan bungkusan kepada pembeli terakhir. Sementara itu, Wawan mengemasi barang-barang sebelum pulang. Tak lupa ia menyisihkan sebuah kantong plastik agak besar dan memunguti sampah yang berserakan di sekitar gerobak.
"Ini kayaknya porsinya agak lebih banyak dari biasanya, Dek." Kata pembeli wanita berusia paruh baya pada Lian.
"Iya, gapapa. Penghabisan ini. Disisain juga ga ada yang minum. Ambil aja, Bu."
"Waah... Puji Tuhan, terima kasih. Ayah saya suka ini. Mudah-mudahan makin laris dagangannya, ya."
"Aamiin, terima kasih ya."
Ketika mereka berbincang, Wawan tidak sengaja menyenggol tas yang dibawa Lian. Buku-buku terjatuh dari dalam tas. Wawan tertegun sejenak dan bergegas mengemaskan kembali buku-buku itu ke dalam tas. Kemudian ia lanjut mengumpulkan sampah yang masih ada disekitarnya.
"Harusnya disini ada tempat sampah untuk pedagang." Ucap Lian saat melihat Ayahnya sibuk mengais sampah ditempat yang agak sulit.
"Harusnya kita bersyukur masih bisa ada spot jualan disini."
"Harusnya kalau banyak pembeli yang menghabiskan uang disekitar sini buat jajan, orang yang mengurus wilayah sini mengatur izin dagang dan pengelolaan kebersihan."
"Kamu ini..."
"Hehehe..."
"Ayo." Ujar Wawan sambil memasukkan sampah terakhir ke dalam kantong plastik.
Lian mengawasi kendaraan sementara Wawan mendorong gerobak menyebrangi jalan sesuai arahan Lian.
***
Wawan mendorong hati-hati gerobaknya begitu masuk ke pemukiman padat penduduk. Ia memakirkan gerobaknya bersama dengan gerobak-gerobak pedagang lain yang tinggal di dalam gang sempit itu.
"Ayah ada urusan sebentar. Kamu pulanglah dulu."
"Ayah mau kemana?"
"Masak telur dadar ya. Sayurnya terserah kamu, apa aja yang ada dirumah, Ayah makan."
"Baik, Yah." Sahut Lian kemudian, meski terheran karena pertanyaannya tidak dijawab.
***
Tidak ada banyak bawang yang tersisa di dalam wadah anyaman enceng gondok di dapurnya, namun Lian masih sibuk memilih-milih bawang yang akan dipakai untuk memasak.
Bawang putih digepreknya sebelum mengirisnya tipis-tipis dan dicampurkan dengan garam, penyedap rasa dan dua butir telur.
Tungku api sudah mulai panas, namun Lian masih mencampur tepung dan mengocoknya bersama adonan telur tadi hingga terlihat lebih banyak. Setelah menuangkan telur ke dalam wajan, Lian keluar dan mengambil beberapa lembar daun kunyit dari pot-pot bekas cat di belakang rumah.
Di meja makan, Lian memeriksa nasi dalam panci pengukus. Ia memastikan porsinya cukup untuk dirinya dan ayahnya. Telur dadar dan tumis daun kunyit sudah terhidang diatas meja, ditemani sambal jelantah.
Diliriknya jam souvenir di dinding. Rasanya ayahnya sudah terlalu lama pergi.
Awan mendung terlihat di langit ketika Lian mengintip keluar. Sebelum hujan turun, Lian sudah selesai mengangkat jemuran.
***
Seorang pria paruh baya dengan mengenakan seragam PNS turun dan memarkir motornya, sementara seorang wanita dengan usia kurang lebih sama sedang sibuk menutup warung rumahan di perkarangan yang sama.
"Assalamualaikum...!" Sapa pria itu mendekat dan membantu wanita itu.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...!" Wanita itu menoleh dan mencium tangan suaminya itu.
"Sepertinya akan hujan deras." Kata si pria.
"Iya, makanya warung tutup dulu, Pak."
"Assalamualaikum Pak Guru." Sapa Wawan dari balik punggung Warto--pria yang dipanggilnya Pak Guru itu. Selama beberapa saat, pria itu berusaha mengenali Wawan.
"Pak...Wawan, bukan? Ayahnya Berlian?"
"Iya, Pak. Maaf saya mengganggu, sepertinya sedang sibuk."
"Ah, tidak. Ini saya baru pulang pas istri mau nitip warung. Mau hujan. Nah, apa yang bisa saya bantu Pak?"
"Saya ingin berkonsultasi dengan Bapak, jika tidak merepotkan."
"Tentang apa?"
"Siapa, Pak?" Sela istri Warto.
"Ini Pak Wawan, Bu. Ayahnya Berlian, mantan murid Bapak dulu. Pak, ini istri saya. Namanya Harum."
"Oh... Orangtuanya alumni. Silahkan masuk dulu, Pak. Saya siapkan minum dulu."
"Ah, tidak usah repot-repot, Bu Harum. Dan... Itu... Anak saya belum jadi alumni tapi memang pernah sekolah di sekolahannya Pak Warto." Harum mengerenyitkan dahi tanda tidak mengerti.
"Anak saya berhenti sekolah setelah kenaikan kelas dua. Seharusnya sekarang masih kelas tiga."
"Oh... " Ada kecanggungan diantara mereka sebelum Harum memutuskan bersikap biasa dan akan kembali mempersilahkan Wawan masuk dan berbincang dengan suaminya.
"Jadi ada apa, Pak Wawan?" Tanya Warto lagi saat istrinya meninggalkan mereka berdua berbincang di teras.
"Saya ingin berkonsultasi tentang ujian penyetaraan, Pak Warto. Apa saja yang harus saya dan anak saya siapkan dan bagaimana cara mengikuti program itu? Apa Bapak bisa memberikan informasi?"
"Ah, ya! Untunglah Bapak tanya sekarang. Setau saya pendaftaran ujian untuk taun depan tidak lama lagi ditutup. Sebentar saya ambilkan beberapa brosur di dalam." Tak lama kemudian Pak Warto keluar dengan membawa beberapa brosur tentang Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
"Ini." Wawan menerima brosur yang disodorkan kepadanya dan membaca informasi di dalamnya.
"Sebelum mendaftar ujian, siswa yang ingin mengambil ujian penyetaraan harus mendaftar terlebih dahulu di PKBM kayak gini. Tidak harus PKBM ini, bisa juga yang lain. Asal semua terdaftar dibawah Kementerian Pendidikan Nasional. Khusus untuk Lian, cari PKBM yang memang menyediakan paket C."
"Ujiannya kapan biasanya?"
"Ada yang menyediakan ujian sekali setahun, ada juga yang sampe dua kali setahun. Tergantung fasilitas PKBM-nya, Pak Wawan."
"Biasanya kapan itu, Pak?" Wawan menyimak dengan penuh perhatian.
"Bulan Juli dan Oktober. Itu informasi yang saya tau."
"Kalau biayanya... Gimana, Pak?"
"Di brosur ini sudah tertulis kalau biaya pendaftaran dua ratus ribuan tapi juga ada biaya bimbingan program lagi. Lian kemarin mengambil program IPS kan, ya? Kalau IPS, kurang lebih tiga jutaan biaya bimbingan ujiannya. Kalau IPA, sekitar empat jutaan. Mudah-mudahan tidak ada perubahan. Ijazah SMP Lian masih ada kan?"
"Masih, Pak."
"Nah, difotokopi sekalian siapkan pas foto tiga kali empat sekitar sepuluh lembar. Pakai kemeja putih, ya. Nilai Lian bagus-bagus saat sekolah, saya yakin dia bisa lulus dengan baik."
Warto membuka mesin pencari diinternet, sementara Wawan mempelajari apa yang tertulis di dalam brosur. Lalu Warto menemukan sesuatu dari mesin pencari.
"Ah, ini ada juga PKBM yang menyediakan bimbingan gratis. Hmm... Disini tidak ada detil informasi lebih lanjut tapi ada alamat dan nomer telepon. Saya tuliskan saja ya di brosur ini." Ujar Warto sambil menuliskan sesuatu di salah satu brosur.
"Ah, ya... Silahkan, Pak. Terima kasih banyak..."
***
Wawan duduk di angkutan umum dengan wajah yang memiliki harapan. Ditangannya ada sebuah kantong berisi buku-buku pemberian Warto.
"Saya sangat mendukung Lian untuk ujian penyetaraan. Mungkin ini tidak banyak membantu, tapi saya harap buku-buku ini bisa berguna." Begitu ucap Warto saat Wawan pamit pulang.
***
"Ini, Bu. Silahkan dipakai."
"Terima kasih." Ucap Maya seraya menyambut helm pengaman yang diberikan oleh sekretarisnya. Mereka melihat-lihat bagian bangunan yang masih belum banyak terlihat bentuknya. Manajer proyek menunjukkan beberapa gambar yang menunjukkan pilihan produk dan desain interior spa.
"Ini interior untuk bagian fitness room-nya?"
"Iya, Bu. Bagaimana?" Meskipun bertanya, pria muda itu terlihat cukup percaya diri dan puas dengan kecakapan kerjanya.
"Saya suka semua pilihan untuk bagian lounge, ruang spa dan yoga. Tapi... Mungkin untuk fitness room-nya bisa dibuat lebih dekat lagi dengan rata-rata karakter klien perempuan kita. Cabang ini hanya diperuntukkan bagi klien perempuan saja, jadi kita harus memperhatikan selera mereka juga. Juga mungkin akses pengunjung untuk melihat ke bagian dalam ruangan diubah sedikit, saya ingin membuat klien kita yang berhijab lebih nyaman." Ucap Maya sambil meletakkan kembali contoh-contoh gambar desain yang dipegangnya.
"Oh, baik Bu." Pria itu sedikit kecewa dengan sedikit cela dalam pekerjaannya. Maya bisa melihat pancaran mata pria itu. Sepertinya sifat perfeksionis yang dimilikinya membakar semangat kerjanya.