On Air

Berthy Adiningsih
Chapter #3

Episode 3

Della membanting tubuhnya dengan kesal di ruang wardrobe.

"Tidak pernah gue dilecehkan sama orang serendah dia selama ini. Siapa namanya? Lastri? Kuno sekali." Della berbaring di atas sofa dan menutup wajahnya. Tidak berselang lama, beberapa orang kru masuk ke dalam sambil tertawa-tawa. Mereka tidak menyadari keberadaan Della disana dan sibuk memilih-milih pakaian dan aksesoris.

"Eh, lo denger ga gosip-gosip?" Seorang diant iniara mereka membuka omongan.

"Gosip apaan? Ngomong, ngomong.. cepetan. Gue suka nih yang beginian."

"Aslinya pemeran utama sinetron kita tuh Kirana, casting directornya bilang cocokan profil Kirana untuk meranin Oraida dibandingkan Della." Mereka memasang ekspresi wajah terkejut dalam berbagai rentang kaget.

"Hah? Dengar darimana? Trus Omaira yang diperanin Kirana siapa seharusnya?" Kejar orang yang merespon topik gosip itu pertama kali.

"Dua-duanya Kirana yang main. Della itu katanya..." Sebelum melanjutkan kata-katanya, si penggosip melihat ke arah pintu. Khawatir ada orang lain yang mendekat dan menguping.

"...dia titipan sponsor agensinya dia. Orang dekat Grow. Pokoknya ih, dilihat juga kelihatan aktingnya payah tapi tau-tau dapat pemeran utama. Fishy ga sih?"

"Ah, lonya aja kali yang julid. Mungkin aja kepilih karena cantik, Della memang payah aktingnya tapi dia cantik. Imejnya dimata masyarakat juga baik dan lembut. Meskipun aslinya... Nah Kirana meskipun dulu idola ibu-ibu pas masih aktor cilik, sejak jadi langganan peran antagonis, ibu-ibu suka gemes sama dia. Kayaknya ibu-ibu lebih suka sama Della." Akhirnya orang paling diam diantara mereka ikut berkomentar.

"Itukan imej buatan. Kalau aja orang-orang tau aslinya gimana. Dia yang meranin tokoh teraniaya, dia pula yang sebenarnya suka menganiaya orang." Sahut si penggosip sewot.

"Aa... Gue pernah dengar tuh. Gue pikir itu hoax loh dulu. Itu beneran ya?"

"Beneran lah!" Seru si penggosip.

"Memangnya kamu udah pernah kena, bro?" Tanya si pendiam kepada si penggosip.

"Ya ga kena aku langsung lah. Tapi aku liat sendiri dan dengar sendiri make mata dan kuping aku."

"Emang gimana yang lo liat? Ini nih yang bikin gue seneng sama lo, Wir. Lo cowok tapi dapet ceritanya lebih update daripada ciwi-ciwi." Wira, si pemula cerita gosip pagi itu merasa bangga mendengarnya.

"Tia, coba bandingin deh Della sama selebriti yang udah lama malang melintang, fasilitas yang dia punya tuh sebanding ga dengan kerjaan dia? Baru juga berapa tahun dia jadi artis." Gadis yang dipanggil Tia hanya manggut-manggut. Sementara si kalem fokus memilih pakaian yang akan dikenakan artisnya.

"Lo pernah dengar ga kalau ada orang dari organisasi artis yang bilang kalau sebagian artis tuh gaya hidupnya bukan berasal dari penghasilannya sebagai selebriti. Itu yang ngomong bukan netizen kaleng-kaleng loh yaa... Itu yang ngomong kalangan mereka sendiri. You know lah maksudnya apa..." Lanjut Wira.

"Iya, gue ada dengar sih. Ternyata orang-orang kaya yang jadi 'sponsor' pribadi artis-artis tuh memang ada ya?"

"He-em."

"Memangnya kurang ya honor jadi artis? Sampe perlu pakai sponsor lagi..."

"Konsen, weh konsen... Pagi-pagi udah nyarap gosip kalian ini. Kerja, kerja."

"Apaan sih Tam, lagi seru ini. Ini juga mulut kerja, tangan juga kerja kok." Protes Tia pada Tami.

"Lanjut Wir, lanjut."

"Ini Indonesia. Orang biasa aja berebut ingin viral, biar bisa eksis. Nah, ini kan artis yang salah satu modalnya popularitas. Buat bisa populer apa aja bakal dikerjakan. Memangnya populer bisa didapat dari les akting, les vokal atau tampang doang? Kan enggak. Biar keliatan kece mesti rajin olahraga di fitness center, kalo perlu sewa pelatih pribadi. Minum suplemen dan obat-obatan impor, perawatan di dokter kulit juga ga sedikit modalnya. Gimana caranya gaya hidup kayak gini bisa kepenuhi? 'Sponsor' lah yang paling gampang. Jadi artis kan cara mudah dapat uang tanpa perlu capek-capek sekolah. Ga kayak lu lu pada. Kuliah lama-lama, kalah lu sama orang kayak Della yang cuma perlu dukungan sponsor biar kaya terus."

"Serem ya... Udah bersyukur banget gue di kerjaan ini, ga usah sampe jadi artislah..."

"Dilirik juga enggak. Tampang ga ada, suara fals, badan koyor-koyor, bakat ga punya... Kalau jadi artis apa yang mau kamu jual?" Lirikan canda Wira seperti nyata merendahkan Tia.

"Hhhgh... Lo becanda tapi nyelekit ya."

"Eh, bisa dong. Meskipun ga punya bakat ataupun tampang."

"Gimana?"

"Nah, kan kamu tertarik." Wira tertawa-tawa melihat reaksi Tia.

"Bikin konten di story aja soal hubungan palsu dengan orang terkenal atau selingkuh sekalian sama artis yang lagi disorot media. Sama pejabat atau caleg juga bisa. Bisa juga sebarin isu iluminati atau lempar duit dari helikopter. Minimal bakal masuk lambe-lambean trus diundang ke talk show gosip. Udah sering kebukti berhasil strategi kayak gitu."

"Wir, Wir. Ga semua artis kayak gitu. Ntar kalo sembarangan ngomong suatu saat bisa jadi masalah loh."

"Memangnya aku salah? Andaikata mereka berkarya tanpa menyelipkan sensasi, apa ada artis yang bisa selaris sekarang?"

"Eh, gue masih kepo nih apa sih keuntungan 'sponsor' buat danain artis? Buang-buang uang kan... Popularitas artis yang ga punya bakat biasanya pendek-pendek."

"Seriously? Kamu ga tau apaan? Pura-pura kali nih..."

"Buat..." Lanjut Wira dengan gestur yang mendeskripsikan sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas. Lawan bicaranya jadi terlihat jijik.

"Itu sih namanya prostitusi terselubung."

"Ga semua artislah kayak gitu..." Komentar Tami kalem.

"Iya, emang enggak. Tapi kan banyak." Sahut Wira.

"Banyak kan subyektif..." Kali ini Wira benar-benar terlihat kesal dengan Tami.

"Kamu nih ya, kenapa sih ngebela artis mulu. Jadi ga seru gosipnya."

"Eh, Oraida Omaira itu idenya kok mirip ya sama dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih? Udah berapa sinetron nih yang make ide dongeng itu." Sela Tia bermaksud mengalihkan pembicaraan.

"Loh, bukannya katanya ngambil ide dari Odette dan Odille?" Kata Tami.

"Itu apa ya? Kayak pernah dengar?" Sepertinya kejengkelan Wira sudah teralihkan.

"Balet itu loh... Apa... Itu... Swan Lake!" Ucap Tami setelah bersusah payah mengingatnya.

Tiba-tiba ponsel Della berdering dan mengagetkan semua orang disana. Della berpura-pura baru terbangun dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Kemampuannya berpura-pura saat ini lebih baik dibandingkan ketika ia harus berakting secara profesional dan dibayar mahal. Tia mengatakan sesuatu yang semua orang sudah mengetahuinya,

"Ada Della... Matii... Dia dengar ga ya?" Bisiknya.

"Kenapa kamu yang heboh, yang ngegibah kan aku." Ucap Wira sambil berusaha menata sikap dan menenangkan diri.

"Mbak Della, ah ada disana. Sepertinya lagi butuh privasi ya Mbak... Kita tinggal dulu ya." Kata Tami.

Della tidak menjawab, juga tidak menoleh.

"Kok bisa ada dia sih? Bukannya hari ini dia ga ada scene?" Gerutu Wira begitu diluar ruangan.

"Mana gue tau. Hah! Udahlah. Mudah-mudahan ga jadi panjang." Keluh Tia.

"Makanya... Kan.."

"Diam!" Seru Wira dan Tia serentak kepada Tami. Mereka sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh gadis itu.

"Mungkin karena kerjasama Grow dan Rate udah mau habis, jadinya penulis lebih banyak ngasi scene. Kerja ajalah dulu. Omongan kayak kalian tadi itu asal ga sampe tayang di TV atau disebar dimedsos, udah jadi rahasia umum kok." Tutup Tami kalem sambil merangkul kedua rekannya menjauh dari sana.

Layar ponsel Della menunjukkan nama Kepala agensi Uka. Della mengangkat teleponnya setelah memastikan orang-orang itu pergi dari sekitarnya.

"Halo?" Tiba-tiba saja Uka, dari ujung telepon langsung mengomelinya dengan nada setengah berbisik.

"Della! Kamu apa-apaan sih?! Kok bikin rusuh di salon Bu Maya?"

"Bu Maya? Bu Maya siapa?"

"Pemilik spa yang kamu datangi hari ini itu punya Bu Maya. Masa kamu ga tau, katanya udah lama jadi pelanggan disana? Ga masuk akal kamu ini."

"Ga kenal. Memangnya harus kenal pemilik kalau mau belanja di toko?"

"Kamu tuh ya! Kok apatis banget. Kamu itu main sinetron di TV milik suaminya. Bu Maya pemilik salon itu ya sama dengan istri Pak Halim, chairman Rate TV. Beliau juga dulunya artis."

"Oh trus apa masalahnya?" Jawaban santai Della makin membuat suara diujung telepon terdengar geram.

"Kamu iniii...!" Uka semakin merapatkan ponsel ke mulutnya dan melirik sekilas pada Pak Fred yang ada di ruangannya. Pak Fred memberi tanda agar Uka menyalakan tombol loud speaker.

"Bu Maya menelepon tadi kalau ada artis agensi Visual Lumiere yang bersikap ga sopan dengan pegawainya. Suaranya kayak biasa aja, tapi permintaannya untuk agensi kita mendidik artisnya supaya lebih profesional itu memalukan tau!" Semprot Uka.

"Kenapa malu? Lagian siapa sih Bu Maya selain istri pemilik TV dan salon? Artis tapi ga terkenal."

"Dia artis veteran, Della! Bukan dia yang ga terkenal. Kamu yang kurang wawasan. Kamu pun masih bekerja untuk TVnya sekarang. Jaga sikap kamu. Jangan sampai ada skandal yang bisa merugikan agensi."

"Yaaa.. artis kurang laku. Suami sudah jadi pemilik TV tapi masih aja ga eksis." Uka tidak bisa berkata-kata dan melirik kearah Fred. Pria itu memberi tanda untuk memberikan ponsel kepadanya.

"Lagipula Visual Lumiere bukan bekerja untuk Rate, tapi Grow Entertainment. Ga lama lagi juga Grow akan pindah ke UTV yang lebih besar daripada Rate TV. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?" Lanjut Della lagi tanpa mengetahui bahwa ia sedang berbicara dengan Pak Fred.

"Menurut kamu, tanpa saya, apa kamu akan selaku sekarang?" Della terkesiap mendengar suara Fred.

"Pak... Fred?"

"Kebetulan sekali saat saya berkunjung kemari, saya mendengar sesuatu yang menarik perhatian saya."

"Kamu masih saja tidak paham cara bertahan hidup di bisnis ini. Saya tidak senang." Ujar Fred dengan tenang namun mengintimidasi.

"Maaf..."

"Sebaiknya kamu serius dengan ucapanmu itu." Fred menyerahkan ponsel itu kembali kepada Uka. Uka menangkap pesan lain dari pandangan Fred.

"Bu Maya tidak menuntut permintaan maaf, tapi kirimkan lah sesuatu sebagai tanda kamu menyesal. Dan.. ehm, hibur Pak Fred juga ditempat biasa." Della menghela nafas. Panggilan terputus.

***

Della nyaris bertubrukan dengan seseorang saat keluar ruangan.

"Ehm... Maaf. Apa perlu pembalut atau celana ganti?" Ucap seseorang tersebut sebelum Della terlalu jauh pergi. Della memeriksa bagian belakang pakaiannya. Ada noda merah disana.

"Oh, great!" Gumamnya kesal. Lalu perhatiannya tertuju pada Kirana yang tengah bersenda gurau dengan para kru.

***

"Kenapa Lo ajak dia sih? Emang kalian akrab?" Tanya salah seorang teman Della di kursi belakang sambil sibuk berdandan.

"Emm... Enggak juga. Kami kolega. Main sinetron yang sama, mungkin perlu gaul dikit-dikit biar chemistry kita bagus." Jawab Della asal sambil memutar mobilnya.

"Gue yang bawa dia. Lo berdua harus ramah dan jangan jutek ya!" Kata Della memperingati.

"Aye aye captain! Ahahaha!" Kedua temannya menyanggupi.

Dari dalam mobil, sekitar seratus meter di depan mereka, gadis yang mereka perbincangkan tengah menunggu di tepi jalan dengan ponsel dikupingnya. Della menghubungkan panggilan di ponselnya dengan bluetooth ditelinganya.

"Gue udah dekat. Udah bisa liat lu, Kir. Lu liat deh sebelah kanan lu, yang mobil putih."

"Ah, serius dia make baju kayak gitu buat clubbing?" Bisik salah seorang teman Della.

"Dia belom pernah clubbing." Jawab Della.

"Serius?" Ujar seorang temannya lagi tidak percaya.

"Wah... Artis yang ga pernah clubbing. Trus, kenapa sekarang jadi mau pergi? Sama lu pula yang ga akrab bener."

"Gue janjiin proyek selanjutnya gue bakal bujukin produser supaya ngasi peran utama yang cocok untuk dia."

"Baik amat. Kalian satu agensi?"

"Jangan bandingin agensi gue dengan agensi dia, ya! Masih bisa dikenali rumah produksi udah sukur banget deh agensi dia."

"Uwow, kalau gitu pasti ada alasan lain nih. Apa?" Alih-alih menjawab, Della memberi isyarat bagi mereka untuk diam.

Sifat mereka mendadak berubah ketika mobil sudah berada di sisi Kirana. Della menurunkan kaca mobil dan melepas kacamatanya.

"Haaii...! Udah lama ya? Yuk, masuk. Lo duduk samping gue."

"Ga juga kok. Aku baru sampe disini." Jawab Kirana sambil memasang sabuk pengaman disamping kursi pengemudi.

***

"Dia denganku." Ucap Della ketika Kirana dan teman-temannya akan diperiksa oleh petugas keamanan Cat's Eyes-- nama club tempat mereka akan menghabiskan malam.

Ponsel Della memberi tanda adanya pesan masuk. Della menelepon nomer itu tanpa mengucapkan salam atau basa-basi dan langsung menutupnya ketika selesai bicara.

"Saya tidak masuk, tapi saya membawa orang lain. Tunggu saja."

"Ada apa?" Tegur Kirana penuh perhatian. Ia melihat Della tampak serius, tidak seperti tadi.

"Tidak apa-apa. Ayo masuk." Mereka tidak memperhatikan jalan dan menyenggol seseorang di dekat pintu masuk. Orang itu adalah Damar.

Pelayan diujung sana adalah pelayan khusus yang menghubungkan klien di ruang privasi VVIP maupun VIP dengan tamu lain di area bar. Dia tidak banyak bicara dan memiliki kesan dingin. Meskipun dia cantik, tak ada yang berani menyentuhnya. Della memberi tanda untuk mengantarkan minuman.

"Silahkan. Ini minuman original Cat's Eyes." Ucap si pelayan.

"Minum?" Della tidak berbasa-basi dengan Kirana.

"Aa... Besok kita ada syuting, gimana kalau minuman non alkohol saja?"

"Ga seru kalau ga nyicipin, padahal kita udah disini. Ini, minumlah." Della mengisi sebuah gelas dan menyodorkannya kepada Kirana.

"Woo... Della menuangkan minuman untuk orang lain. Kita aja ga pernah. Lo ga boleh ga minum nih." Salah seorang teman Della mendorong Kirana menerima minuman dari tangan Della. Kirana merasa tidak enak hati dan mengambil gelas itu namun ia merasa ingin muntah ketika menyicipi rasanya. Dia benar-benar tidak menyukai minuman beralkohol. Orang-orang dimeja itu tersenyum bahkan terkekeh melihatnya.

"Baru pertama nyoba?" Kirana mengangguk ragu. Ia bahkan ragu bahwa keputusannya ikut berada disana adalah hal yang tepat. Si pelayan membuka ponselnya kemudian menghampiri Kirana dan menghiraukan Della,

"Maaf, bukankah Mbak ini artis?"

"Uhmm... Ya."

"Boleh minta foto?" Kirana mengiyakan dan mereka berpose berdua. Tanpa meminta izin, pelayan itu mengirimkan fotonya bersama Kirana kepada seseorang.

"Kalau tidak keberatan, ada yang ingin bertemu dengan Mbak. Mari ikut saya." Kirana merasa heran dengan kata-kata si pelayan. Ia melemparkan pandangan kepada Della dan teman-temannya untuk meminta konfirmasi apakah perlu mengiyakan atau tidak. Della hanya mengendikkan dagunya sebagai bahasa perintah agar mengikuti si pelayan.

Ketika Della menoleh memastikan bahwa Kirana mengikuti pelayan dibelakangnya, ia menangkap bahwa Damar berjalan di belakang mengikuti mereka.

Tidak lama setelah itu, Kirana berjalan cepat keluar dari Cat's Eyes dan melupakan tas yang tertinggal dimeja. Kemudian Damar menghampiri mereka, ketampanan pria itu membuat teman-teman Della kesengsem.

"Hei, perempuan tadi menabrak saya dan tidak meminta maaf. Itu sepertinya adalah tas miliknya. Dimana pemiliknya?"

Laki-laki itu mengambil tas milik Kirana dan meminta mereka untuk mengabari Kirana jika ia mencari tasnya untuk mengambilnya darinya.

Della mengenali identitas Damar dan paham bahwa pria itu berpura-pura. Dia hanya diam saja dan membiarkan Damar membawa pergi tas milik Kirana.

Della mengangkat ponselnya yang sudah berdering sejak Damar disitu dengan perasan campur aduk.

"Halo? Hmm... Saya kesana."

"Kalian pesanlah sesuatu sesuka kalian. Pakai nama gue. Gue ada urusan lain." Ujar Della kepada teman-temannya sebelum pergi dari sana, menuju ruang VVIP.

***

Mila menggeliat diatas kasur dengan separuh masker diwajahnya luntur dan menempel di bantal. Ia mendengar sayup-sayup pintu kamarnya diketuk dan ketika kesadarannya penuh, ia sadar bahwa sesungguhnya pintunya tengah digedor.

Mila langsung duduk dan kepalanya pusing karena gerakan mendadak itu.

"Ya ampun maskernya..." Keluhnya saat melihat kasur dan meraba wajahnya. Lalu ia melihat laptopnya masih memutar drama Korea sejak semalam.

"Milaaaaaa...!!! Kamu ga kerja?" Teriak Ibunya dari luar kamar.

"Iyaaa, Buuu... Bentar... Mila siap-siap dulu!"

Ibunya Mila masih didepan pintu kamar ketika Mila buru-buru keluar dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa menutupnya. Jam sudah menunjukkan setengah tujuh pagi. Tidak ada waktu untuk bersiap-siap. Mila hanya mencuci muka, menyikat gigi dan berwudhu.

"Wudhu apaan kamu?" Ibunya mengernyit melihat kelakuan putrinya.

"Subuh."

"Lah, ini kan udah waktu Dhuha."

"Kan kesiangan, bisa dikerjain begitu bangun tidur, Bu."

"Bekal ga nih?" Ibunya bertanya lagi sambil geleng-geleng kepala dan Mila hanya mengangguk dengan terburu-buru. Ibunya Mila berjalan ke dapur dengan santai.

Dikamar, Mila dengan sigap mengambil celana, kaus dan kemeja dari lemari, juga segulung celana dalam dari laci. Kemudian ia berganti pakaian dengan cepat dan tak lupa menyemprotkan deodorant seadanya.

Mila menarik nafas dalam dan satu-satunya sikap tenang Mila pagi itu hanya ketika ia sedang melakukan solat subuh--yang terlambat beberapa jam.

***

Riko sedang asik bermain game online dari ponsel dan tiba-tiba seseorang menarik salah satu earphone-nya. Riko melirik sekilas pada orang yang memilih duduk di belakangnya itu.

"Kenapa ga disebelah aku aja, Mil?" Ucap Riko tanpa menoleh dari layar ponsel.

"Ga ah. Kamu sibuk gitu. Aku juga mau dandan." Ujar Mila sambil mengeluarkan peralatan tempurnya. Mila mulai dengan pensil alis.

"Eh, kamu kenapa bisa kerja di Rate?" Mila melemparkan pertanyaan random pada Riko.

"Apaan sih. Ga jelas amat nanyanya."

"Jawab aja. Biar ga kayak orang ga kenal kita."

"Dulu aku pengennya kerja di Palmerah. Di penerbitan. Tapi baru jadi anak magang aja, publishing house itu ga lama collapse. Ayah sama Bunda nyaranin nyari kerja di tempat yang lebih stabil aja. Jadilah aku kerja di TV. Kamu?"

"Umm... Kalo gue... Gue ga tau mau jadi apa. Ga ada bayangan mau jadi apa. Waktu sekolah, alumni yang balik lagi ke sekolah itu rata-rata lanjut kuliahnya di jurusan-jurusan yang serius banget. Kedinasan semua. Polisi, TNI, Sandi Negara, STAN, IPDN.. yang gitu-gitu. Aku ngerasa ga bakal bisa survive disana, ga ada passion samsek juga."

"Trus gimana bisa jadi MUA?"

"Trus kakak aku bilang kenapa ga jadiin keribetan aku nyocok-nyocokin gaya baju dan makeup-in orang buat jadi kerjaan sekalian aja.. Ya... Aku ikutin lah. Daripada bego dirumah. Eh, liatin deh kanan kirinya seimbang ga?" Mila bertanya sambil menonjolkan alis kanan dan kirinya.

"Aku lagi main." Sahut Riko tanpa menoleh.

"Noleh bentar." Mila bersikeras.

"Lagi war ini. Ga konsen."

"Lah itu bisa ngomong."

"Bacot doang mah bisa. Mulutku udah terlatih aktif meskipun ga make otak ngaktifinnya." Setelah itu Riko ngakak sendiri tapi tak lama ia menjadi sangat kesal karena kalah. Riko menutup ponselnya sambil melengos.

"Gara-gara lu nih!"

"Apaan?!"

"Ah, udahlah. Mana tadi? Udah seimbang tuh. Tapi..."

"Tapi?"

"Kamu..."

"Ya?"

"Kamu... Ga mandi, ya?" Ujar Riko setengah berbisik.

"Eeh?! Emang keliatan banget?" Mila terbelalak mendengarnya.

"He-eh." Riko mengangguk pasti.

"Banget?"

"Kalau diperhatikan sih iya."

"Aduh, gimana nih..." Mila jadi terlihat cemas.

"Woles. Emang siapa juga yang mau merhatiin kamu? Liat ada yang ngeliatin kamu sekarang ga?" Mila memperhatikan penumpang lain di bus Transjakarta itu. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.

"Nah kamu aja ngeh." Mila menunjuk Riko.

"Aku kan tadi lagi merhatiin alis kamu trus aku jadi ngeh rambut kamu lepek, leher kamu berdaki dan ada sisa iler kering dekat rahang kamu. Kamu ngences jauh amat sampe ngalir ke dagu."

"Ganti topik omongan atau aku ngambek nih." Ancam Mila.

"Iyaa... Iyaa... Kenapa lu sampe ga mandi?"

"Tuhkan?!" Wajah Mila agak merah dan hangat, dia merasa malu.

"Kalau dijawab, bahasannya tadi jadi alasan kenapa kamu ga mandi, Oneng..."

"Ketiduran nonton drakor dari semalam. Maunya satu episode, eh tau-tau udah mau tamat aja."

"Emang kamu nonton berapa episode?"

"Uhm... Setengahnya?"

"Total episode berapa?"

"Enam belas."

"Sett dah. Jadi artinya delapan episode? Itu masing-masing berapa menit?"

"Rata-rata lima puluh menitan. Hehehe..."

"Hah?! Hampir delapan jam dong??"

"Hehehehe..." Mila hanya bisa nyengir.

"Kamu kenapa dandan disini?"

"Kan tau. Kesiangan." Riko memandangi wajah Mila beberapa detik.

"Kamu udah cantik kok. Ga usah digambar-gambar." Kemudian Riko menampar mulutnya sendiri. Lagi-lagi Mila tertawa kecil melihatnya. Hati Riko berdetak ga santai.

"Apa sih bagusnya Drakor?" Lanjut Riko lagi, menutupi kegugupannya.

"Eee?! Kamu belum pernah nonton drakor?" Riko menggeleng.

"K-movie?" Riko menggeleng lagi. Lalu dia teringat sesuatu.

"Aku pernah nonton Meteor Garden." Kata Riko dengan wajah polos.

"Ah! Itu mah bukan Korea, Taiwan itu... Adaptasi Korea juduly Boys Before Flowers. Tau kan? Lee Min Ho? Bukan penggemar drakor juga pasti pernah dengar nama Lee Min Ho. Kan orang-orang taunya orang Korea Choi Siwon sama Lee Min Ho, yang lain cuma temannya mereka berdua."

berdua."

"Aaa... Aku tau sih nama itu, cuma ga pernah mantengin aja."

"Super Junior tau? Siwon itu anggota Super Junior. Itu yang pernah konser bareng Rossa. Aku ELF." Terang Mila dengan ekspresi sumringah.

"Elf? Peri?" Riko tidak mengerti yang dimaksudkan oleh Mila.

"Bukaaaan.... Everlasting Friends. ELF. Nama fandomnya Suju alias Super Junior."

"Apa bagusnya sih?"

"Apa?"

"Mereka kan plastik." Ekspresi Mila berubah tidak senang. Dia merengut.

"Tidak semua, ya!"

"Kamu marah?"

"Kesel."

"Kesel Napa?"

"Kamu komentar sesuatu yang enggak kamu pahami bener. Nahan-nahan emosi doang ini."

"Kenapa ditahan emosinya?"

"Ngeluapin kekesalan sama orang yang ga paham itu rasanya hal yang bodoh dan sia-sia."

"Waah... Prinsip yang bagus sekali. Aku terkesan."

"Kamu memuji tapi entah kenapa terkesan meledek."

"Serius?"

"Seriusan."

"Seriusan?"

Lihat selengkapnya