On The Inside

Fuseliar
Chapter #4

Awal Dari Rollercoaster

Seandainya digambarkan seperti film kartun, kepala Michel saat ini seperti lokomotif uap yang asapnya mengepul. Bagi Michel pelajaran matematika dan fisika adalah dua pelajaran paling sinkron dan tidak sinkron secara bersamaan. Bagaimana bisa bab pertama fisika semester ganjil kelas 11 tentang persamaan kecepatan yang diselesaikan menggunakan persamaan limit, tapi di pelajaran matematika tentang limit baru diajarkan semester genap?

Entah Michel yang memang melewatkan banyak materi karena sering membolos, atau ia sendiri yang memang tidak fokus mengikuti pelajaran. Karena bagi Michel ini adalah hal ter-absurd sejagad raya. Bahkan Michel yakin waktu ujian tengah semester akan muncul soal yang hanya bisa dikerjakan setelah benar-benar paham bagaimana cara menyelesaikan persamaan limit. Padahal di buku matematikanya tertera jelas limit mulai dijelaskan di bab satu semester genap.

"Hng, aku gak paham. Buat apa sih kita belajar persamaan aneh gini?" tanya Michel yang menyerah diatas buku.

"Emang mana lagi sih yang enggak paham? Itu udah 10 soal yang dijawab bener kan'?", balas Theo yang mulai jenuh.

"Tapi ini masih soal yang mudah. Kalau di universitas nanti, pasti ada soal yang lebih kompleks lagi. Jadi Michel harus belajar lebih keras lagi," ucap Rani yang berniat menenangkan tapi efeknya sama sekali tidak membuat dua temannya tenang.

"Ya liat aja deh. Mana ada percepatan di tulis pakai persamaan X sama dengan tralala gini. Apalagi mencari percepatan sesaat, kecepatan sesaat? Emang kita mau mengukur apa? Enggak jelas," omel Michel.

"Tapi ini esensial bukan? Maksudku kalau semisal sebuah partikel berpindah dengan kecepatan tertentu bisa diukur, otomatis apapun yang bergerak termasuk pergerakan bumi bisa diukur. Bukankah itu penemuan revolusioner?" jelas Rani yang justru semakin membuat bingung otak Michel.

"What the F? Jadi maksudmu kita belajar persamaan aneh kayak gini buat menghitung hari kiamat?" ledek Michel.

"Bu, bukan itu maksudku. Menghitung kecepatan sesaat itu bisa jadi petunjuk ada penemuan baru yang berguna untuk manusia." sanggah Rani yang suaranya mengecil saat berusaha menjelaskan. Tentu saja Michel beranggapan Rani tidak benar-benar tahu alasan belajar persamaan limit kecuali materi itu harus dipelajari di sekolah.

"Michel kamu kan suka kereta. Kalau kereta jalan diatas rel, kamu tau gak kecepatannya berapa?" tanya Theo tiba-tiba.

"Hmn, kan ada batas kecepatan alias taspat. Batas kecepatan di setiap jarak tertentu. Kalo gak salah biasanya sebelum semboyan deh. Kalau di Train Simulator gitu sih," jawab Michel.

"Oke, bayangkan kereta Argo Bromo Anggrek berjalan dari stasiun Gambir ke Stasiun Pasar Turi. Keretanya melaju dengan batas kecepatan tertinggi dan mau masuk ke stasiun Pasar Turi. Berarti keretanya harus melambat bukan? Nah kalau dalam jarak 20 km kereta harus melambat dengan percepatan berapa supaya bisa masuk di stasiun Pasar Turi tepat waktu?" jelas Theo.

"Oh... Karena waktu mau masuk ke stasiun ada batas kecepatan tertentu. Jadi harus menghitung kecepatan sesaat kereta supaya bisa mengontrol laju keretanya. Makanya perlu belajar limit," komentar Michel.

"Bagus deh kalau otakmu udah connect. Lanjut lagi ngerjain sana. Masih ada 10 soal lagi tuh," sahut Theo.

Ya, cowok bernama Theo itu berusaha mengembalikan konsentrasi Michel. Tentu saja Rani mengucapkan terimakasih meskipun tidak bersuara, hanya gerakan bibir saja. Tapi senyuman cewek yang selalu menjadi juara kelas itu melelehkan Theo. Meskipun hanya bisa tersenyum malu, Theo akan selalu mengingatnya. Karena senyum Rani lebih mahal dari sepatu Supreme koleksinya. Cowok itu bahkan masih menikmati kecantikan Rani setelah interaksi singkat tadi.

Rani yang tidak ingin terlibat hubungan cinta monyet dengan Theo, memilih tidak menanggapi tatapan bucin dari Theo. Sedangkan Michel yang berusaha mendekatkan Theo dengan Rani justru merasa seperti obat nyamuk di sana. Beruntungnya si cewek berambut uban memilih bersabar. Fokus cewek itu lebih terarah ke soal-soal fisika sekarang.

Seperti ini suasana saat mereka bertiga belajar bersama di perpustakaan. Mereka biasa berkumpul di saat jam pulang sekolah. Sesuai kesepakatan, Theo bisa lebih dekat dengan Rani, sedangkan Michel bisa mendapat pelajaran tambahan gratis, lalu Rani bisa punya waktu untuk mengulangi pelajaran yang diterima dan mengerjakan soal-soal. Simbiosis mutualisme sudah terjalin diantara mereka bertiga. Inilah posisi niche yang Michel inginkan sementara ini. Tidak ada konflik dan permusuhan. Ia juga tidak perlu benar-benar memahami masalah orang lain. Ia juga tidak perlu terlibat dalam konflik yang tidak penting.

Michel terlalu fokus dengan soal-soal fisika sampai ia tidak menyadari sudah 3 jam lebih mereka disana. Theo sudah tidak bisa fokus mengerjakan soal. Rani masih bisa mengerjakan, tapi ia harus ke tempat les. Penjaga perpustakaan sekolah pak Herman, datang ke meja mereka.

"Hayo pulang. Saya mau tutup perpustakaannya," kata beliau sambil membawa buku yang akan dikembalikan ke rak.

"Iya pak," sahut mereka bertiga.

Tiga sekawan itu langsung membereskan peralatan dan buku. Tak lama mereka pamit pergi meninggalkan perpustakaan. Seperti biasa, Rani dijemput supir lalu pergi ke tempat les. Theo pulang menaiki motor retro kesukaannya. Sedangkan Michel lebih memilih menggunakan angkutan umum hari ini. Ia berjalan melewati bukit dan rel kereta api hingga ia berhenti di pinggir jalan nasional.

Cewek berambut uban itu tidak langsung pulang. Ia justru mengambil kamera dan duduk di pinggir jalan. Merekam dan memotret semua bus yang lewat di depannya. Michel baru pulang ke rumah saat matahari sudah mulai terbenam. Sebenarnya pun cewek berambut uban ini tidak begitu suka pulang ke rumah. Karena rumahnya kosong dan tidak ada orang yang akan menunggunya datang. Ibunya sudah meninggal dunia. Ayahnya sibuk dengan jabatan beliau di BPK. Kakaknya sibuk menjadi ajudan Menteri Keuangan. Hanya Michel sendiri yang tidur di rumah. Jangan heran kalau Michel sering bangun kesiangan.

Seperti biasa, cewek berambut uban itu sampai di depan rumah besar yang sepi. Pagarnya masih terkunci, lampu teras mati, beruntung lampu jalan masih hidup. Michel mulai membongkar saku jaketnya, mencari keberadaan kunci rumah. Tapi ia tidak menemukan di kedua kantong jaket. Tidak pula di kantong seragam. Di bawah lampu jalan yang remang-remang, Michel membongkar isi tas yang dibawa. Mulai tas kamera, tempat pensil dan semua kantong yanga ada. Tetap saja kunci itu tidak ditemukan. Sambil mengembalikan semua barang yang telah dikeluarkan, Michel mulai menyadari. Ia terjebak masalah besar.

"Ah gawat, kunci rumahku hilang lagi."

Lihat selengkapnya