Pukul 5 pagi, Michel bangun. Ia akan cepat-cepat turun ke kamar mandi dan mengbil air wudhu. Di kamar mushola, ayahnya sudah duduk di atas sajadah dan membaca Al Qur'an. Setelah salat subuh, Michel langsung menuju dapur. Ia mengambil sebuah toples plastik berisi gelang dengan label stiker. Setiap stiker tertulis kegiatan yang harus dilakukan Michel setiap pagi. Satu per satu, Michel memasang gelang sesuai kegiatan yang akan dilakukan.
Gelang pertama, membersihkan tempat tidur. Cewek berambut uban itu segera ke kamar dan merapikan tempat tidur. Membenarkan sprei kasur, menara bantal dan melipat selimut kuning Kumal kesayangannya. Selesai menata tempat tidur, Michel kembali ke dapur. Ia melepaskan satu gelang dari tangannya.
Gelang kedua, mengisi bak air mandi dan wudhu. Hanya dalam beberapa menit saja Michel sudah menyalakan pompa air, membuka kran dan mengisi bak air wudhu. Selesai, Michel kembali ke dapur seperti sebelumnya. Melepas gelang dan melihat stiker gelang ketiga. Gelang ketiga tertulis menyetrika baju seragam. Anak gadis itu mulai berjalan ke sana kemari mengambil jemuran.
Sang ayah baru saja keluar dari mushola. Beliau melirik sejenak anak gadisnya yang berputar-putar ke sana-kemari. Butuh waktu beberapa bulan bagi Michel menyesuaikan diri untuk mengenakan gelang aktivitas. Beruntung penyesuaian itu berhasil. Meskipun bagi orang yang pertama kali melihat, akan merasa sangat aneh. Setidaknya setiap pagi, Michel tidak lupa dengan kewajibannya. Meminimalisir kecerobohan yang tidak perlu bagi Michel.
Pria paruh baya itu menghampiri meja makan. Kemudian membuka rice cooker di meja. Air mengalir ke permukaan meja saat tutup rice cooker diangkat. Muncul bau aneh dari dalam panci rice cooker, meskipun baunya tidak menyengat.
"Michel, kamu tadi malam lupa enggak menyalakan pemanas rice cooker ya?" tegur sang ayah.
Si anak gadis menghampiri meja makan setelah meletakkan gelang di toples plastik. Tangan kanannya membawa seragam yang sudah disetrika. Gadis itu menilik rice cooker yang disodorkan sang ayah.
"Gini kan jadi buang-buang makanan. Besok-besok kalau masak nasi, pemanasnya gak usah dimatikan. Ayahmu ini masih kuat bayar listrik Michel. Kalau kayak gini kan jadi buang-buang nasi. Mestinya ini bisa buat sarapan paginya Michel kan?" cetus si pria paruh baya.
Si gadis berambut uban hanya bisa diam dan mengangguk setuju. Tanpa sepatah kata apapun, si gadis meletakkan gelang terakhir di tangannya. Kemudian masuk ke kamar mandi. Sang bapak kembali menutup rice cooker dan meninggalkan meja makan. Setengah jam kemudian, Michel sudah berpakaian rapi dan kembali ke dapur.
Menu sarapan di meja makan keluarga Michel tidaklah mewah apalagi sehat. Hanya ada gorengan sisa cemilan kemarin malam. Tambahan nasi putih dingin yang pinggirnya basah karena kemarin malam Michel lupa menyalakan pemanas nasi rice cooker. Ayah Michel yakin sebagian nasi itu sudah basi. Tapi anak perempuannya masih berniat mengorek sisa nasi yang ada.
"Michel udah gak usah dikorek-korek begitu. Beli makan di sekolah aja sana," ucap sang ayah.
Pria paruh baya itu keluar dari kamar membawa beberapa dokumen di tangannya. Hanya saja, Michel sudah mengumpulkan hampir setengah piring nasi dari panci rice cooker yang mulai berbau aneh.
"Ayah, ini masih bisa dimakan. Yang basi cuma pinggirnya aja. Nasinya jadi agak basi gara-gara kena air. Ayah gak usah khawatir Michel biasanya juga makan nasi kayak gini," ucap si anak gadis yang masih berusaha mengorek-ngorek nasi di panci rice cooker.
Tanpa basa basi sang ayah kembali ke kamar mengambil dompet dan menghampiri Michel. Gadis itu tetap dengan pendiriannya, ia ingin makan nasi yang sudah setengah basi. Sebenarnya Michel mengorek-ngorek nasi bukan karena pelit apalagi berhemat. Tapi justru karena rasa bersalah si anak perempuan yang lupa tidak menyalakan pemanas rice cooker. Ayah Michel kurang lebih mulai memahami sikap anaknya meskipun tidak banyak bicara. Uang saku Michel lebih dari cukup untuk beli makanan di sekolah. Kondisi keuangan keluarga kecil itu tidaklah buruk, justru cenderung baik.
Si pria paruh baya itu mengeluarkan Dua lembar uang bergambar Soekarno Hatta. Beliau meletakkan uang itu di depan Michel.
"Udah gak usah makan nasi itu. Beli aja di sekolah," ujar sang ayah.
Tapi Michel menanggapi dengan wajah kecut.
"Ngapain sih? Michel punya uang. Michel pengen sarapan di rumah. Gak boleh emang?" balas Michel yang masih tetap mengorek-ngorek nasi.
"Kalau sampai sakit perut jangan salahkan ayah ya?" balas sang ayah.
"Enggak bakal, perut Michel udah kebal sama beginian," sahut Michel percaya diri.
Pagi itu Michel sarapan dengan tahu isi yang tepungnya seperti karet. Isi sayuran di dalamnya sudah agak asam. Bersama nasi putih yang berhasil ia kumpulkan dari rice cooker. Sang ayah hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan anak gadisnya.