Darren duduk dengan punggung menyandar di sofa. Posisinya rileks meskipun kepala cowok itu cenderung tegak. Kedua tangan remaja laki-laki itu bertumpu di antara paha dan jari-jarinya saling bertautan. Lawan bicara Darren adalah seorang pria paruh baya. Ayah Michel lebih tepatnya. Pria dewasa itu duduk menyandarkan punggung. Kedua tangannya juga berada diantara paha dan jemari pria itu juga saling bertautan. Posisi dua orang yang saling bertukar pendapat itu seperti kaca yang saling meniru.
"jadi selama ini ada kasus bullying di sekolah, pelakunya adalah teman dekatmu?" tanya seorang pria paruh baya yang duduk di depan Darren.
"Benar Om. Saya menyesal karena sudah berteman dengan mereka," sesal si anak remaja.
"Setidaknya kamu sudah belajar. Tapi Om masih penasaran dengan teman dekatmu. Selama ini para guru di sekolah membiarkan bullying terjadi?" cecar Ayah Michel.
"Bisa dikatakan seperti itu. Kebanyakan guru tidak berani menghukum mereka. Ya karena privilege dari orang tua, Om. Bahkan mereka ada yang anak komandan kepolisian, anak hakim dan jaksa terkenal, ada pula yang pejabat daerah. Jadi posisinya sulit di jangkau orang biasa," jelas Darren.
Sang bapak hanya mengangguk-angguk mengerti. Beliau kembali menyandarkan punggung di kursi. Tak lupa melahap beberapa buah bakpia kacang hijau.
"Terus kamu ketemu mereka pertama kali di mana? Jarang-jarang anak pejabat bisa ngumpul begitu," pancing Ayah Michel.
"Kami berteman dari SMP Om," jawab Darren.
Pria paruh baya itu kembali melahap bakpia dan masih dengan posisi santai. Gestur tubuhnya menirukan Darren seperti kaca.
"Wah, om kira kalian sering ketemu di luar sekolah. Berarti kalian satu sekolah selama 5 tahun ini? Sering sekelas?" kulik Ayah Michel.
"Kami dulu di SMP kami sekelas Om. Kami juga sering ketemu kalau ada acara bareng orang tua," tukas si remaja laki-laki.
"Berarti udah deket banget dong kalian?" sahut si pria paruh baya.
"Bisa di bilang begitu Om, tapi saya merasa lelah bareng mereka. Saya ingin move on dari mereka. Saya ingin punya teman yang benar-benar baik. Teman yang mau mengoreksi kalau saya salah. Kayak Michel Om,"
"Hahaha, itu emang dia aja yang kadang kelewat jujur di tambah gak tau situasi. Om berharap kamu enggak terlalu mengambil hati dari semua omongan anak itu. Dia masih butuh belajar biar lebih peka,"
Michel datang membawa nampan berisi dua gelas lemon tea. Tanpa basa basi, cewek itu meletakkan satu gelas lemon tea di depan si kakak kelas. Kemudian Meletakkan segelas yang lain di sebelah Darren. Setelahnya, Michel duduk di sebelah Darren.
"Loh, Ayah enggak di kasih lemon tea juga?" tanya sang ayah sambil melihat dua gelas lemon tea di meja.
"Ayah ambil sendiri di dapur," jawab si anak gadis dengan entengnya.
"Hoh, Michel udah gak sayang lagi sama Ayah?" tuduh si pria dewasa.
Pria paruh baya itu berdiri dari duduknya dan melangkah menuju dapur.
"Justru karena Michel sayang Ayah. Kalo Michel yang bikin nanti kebanyakan es. Kalo Ayah sakit tenggorokan lagi gimana?" kilah si anak gadis.
Tidak ada jawaban lagi dari sang ayah. Tampaknya beliau tahu maksud Michel yang ingin berbicara berdua dengan si kakak kelas.
"Dicoba dulu yuk, lemon tea buatanku. Dijamin enak," tawar Michel.
Darren meraih segelas lemon tea dan meneguknya sampai habis. Tak lupa napas lega saat hawa panas tersapu es lemon tea yang enak.
"Enak banget ternyata kalau diminum," puji Darren.
"Wah makasih ya pujiannya. Kamu mau lagi?" tawar Michel lagi.
"Boleh. Kalo bisa minta tambah es," timpal Darren.
Cewek berambut uban itu membawa gelas Darren ke dapur. Tak lama ia kembali ke ruang tamu. Cewek itu mendapati Darren berdiri di depan foto keluarga yang dipajang di lemari.