Setelah pergulatan batin yang intens di sekolah, paling cocok direlaksasi dengan es degan. Michel setuju banget sama statement itu. Tak ayal Michel tergoda saat melintas di depan toko es degan ujung gang rumahnya. Sambil menenteng sekantong plastik es degan, Michel menyeruput es degan. Ia benar-benar lega saat rasa manis dan legitnya es degan membasahi tenggorokan. Diikuti langkah semangat menempuh perjalanan dari pinggir jalan nasional ke rumah. Namun belum sampai es degan ditangannya habis, Michel mendapati Prisil berdiri di depan pagar rumah.
Penampilan Prisil agak berbeda dari biasanya. Ia tidak terlihat elegan dan cantik. Cewek itu terlihat seperti anak remaja biasa dengan jaket outer, kaos polos dan celana jeans yang agak ketat. Rambut wanita itu juga terikat seperti ekor kuda, tidak digerai seperti dulu. Michel juga tidak mendapati kendaraan bermotor di dekat Prisil.
"Ada apa kesini?" sapa Michel yang tiba-tiba muncul di samping Prisil.
Prisil tersenyum ramah.
"Boleh gak kita ngobrol di dalam?" balas Prisil.
Alis Michel terangkat sementara bibirnya terus menyedot es degan. Michel kembali mengobservasi sekitarnya. Michel mengintip sejenak ke celah-celah pagar rumah. Ia melihat sebuah mobil Innova terparkir. Tanda kalau ayahnya baru saja pulang. Membawa Prisil ke rumah jelas bukan pilihan bagus. Diam-diam Michel takut ayahnya marah.
"Ada masalah apa? Kita ngobrolnya di depan gimana? Atau di tempat lain gimana? Soalnya di dalam sana ada ayah. Aku gak bisa bawa kamu ke rumah," kilah Michel.
Ekspresi Prisil berubah suram, entah karena malu, atau justru ada hal lain yang membuat cewek itu sedih. Di lain sisi Michel merasa menelan es degan jadi lebih sulit.
"Iya gak papa, kita mau ngobrol di mana?" tanya Prisil.
Kini giliran Michel yang bingung. Setidaknya Michel sadar kalau pembicaraan yang akan datang cukup privat. Tapi Michel juga tidak bisa mengabaikan perasaan aneh dan buruk di hati. Michel diam-diam melirik pos ronda yang berjarak beberapa puluh meter dari rumah.
"Yaudah kita ngobrol di sana aja ya?" usul Michel sambil menunjuk pos ronda di pinggir jalan.
Prisil mengangguk setuju dan mereka berdua berjalan menuju pos ronda.
"Kamu ke sini naik apa tadi?" tanya Michel yang berjalan di depan Prisil.
"Aku tadi naik ojek online," jawab Prisil singkat.
"Tumben? Bukannya kamu punya mobil sendiri?"
Michel berani menatap Prisil face to face sambil berjalan mundur karena termakan rasa penasaran dengan kondisi Prisil saat ini.
Prisil tidak menjawab. Saat kedua remaja itu sampai di pos ronda, mereka masih saling bungkam. Tapi ekspresi suram Prisil berubah menjadi tangis. Si cewek berambut uban hanya bisa diam dan berhenti menyedot es degan. Entah kenapa rasa es degan itu jadi hambar.
"Michel, aku minta maaf. Aku minta maaf atas namaku sendiri dan orang tuaku. Tolong kumohon tolong, kembalikan ibuku. Aku enggak masalah kau bapak di penjara, sungguh. Tapi tolong kembalikan ibuku."
Michel kini benar-benar terdiam mendengar perkataan Prisil. Cewek berambut uban itu bingung tujuh keliling harus berkata apa. Ia ingin bersimpati, tapi tidak tahu kata-kata seperti apa yang bisa menenangkan Prisil. Otak pragmatis Michel juga bingung harus membantu seperti apa. Namun hati Michel juga merasa sakit dan tidak terima. Ia sudah pernah di posisi Prisil, tapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Si cewek berambut uban tidak berani berkata apapun. Michel hanya bisa melihat Prisil menangis tersedu-sedu. Setelah menangis cukup lama, Prisil memutuskan untuk pulang. Meninggalkan Michel sendirian di pos ronda.
Si gadis berambut uban itu enggan melangkahkan kaki ke rumah. Dari dalam hati ia tahu orang di balik kesengsaraan Prisil. Hati Michel menjadi berat. Ia merasa bersalah, namun juga tidak terima. Dari dalam otak kecil gadis itu, ia mulai bertanya, apakah ini yang diinginkan oleh almarhum ibu Michel? Apakah seperti ini sudah benar? Apakah ini yang terbaik?
"Michel ngapain duduk sendirian di pos gitu?"
Suara berat terdengar mendekati Michel.
Figur pria tua itu mendekati Michel. Tanpa banyak kata, pria berambut uban itu duduk di samping si anak gadis.
"Michel tadi ketemu Prisil kan? Kalian ngobrolin apa?" tanya si pria tua.
Michel mengigit bibir, berusaha menekan semua perasaan yang meluap.
"Ayah, Michel pernah di posisi Prisil. Michel pernah kehilangan mama. Sekarang Prisil kehilangan ibunya. Michel enggak tega kalau Prisil harus merasakan sakit yang Michel pernah rasakan. Apalagi Prisil enggak tau apa-apa, sama kayak Michel dulu. Bukannya Prisil seharusnya tidak merasakan sakit yang pernah Michel rasakan?"
Michel menumpahkan perasaannya sambil terus menatap ujung sepatu. Cewek itu tidak berani menatap langsung mata sang ayah. Sedang pria yang lebih tua hanya melirik sejenak dan menatap lurus ke depan.
"Michel benar-benar anak yang baik. Ayah suka, Michel punya kriteria adil yang dipegang. Tapi adil buat ayah beda sama adil yang Michel pegang. Suatu hari nanti kalau Michel bisa berdiri setara sama ayah, Michel silakan komplain sama keputusan ayah. Kalau sekarang, Michel harus ikut apa keputusan ayah. Termasuk keputusan ayah menyelesaikan dendam ibumu. Jelas?"
Ucapan tegas sang ayah membuat bahu Michel bergetar. Si anak gadis hanya diam dan berdiri. Langkah kaki Michel tegap menuju rumah. Sang ayah mengikuti di belakang.
Si gadis berambut uban langsung menuju pintu kamar, tapi ia diam berdiri memegang gagang pintu. Sang ayah yang berdiri di dekat si anak gadis tetap membisu. Memberikan ruang bagi Michel untuk mengontrol emosi.
"Michel heran, selama ini ayah sengaja pakai semir rambut warna putih ya?" ucap Si gadis berambut uban.
Sang ayah tidak menjawab. Beliau malah bergerak menjauhi Michel dan masuk ke kamar. Si anak gadis yang terlanjur emosi masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras.
Malam itu rumah menjadi sepi seperti tidak ada orang. Arwin yang baru saja datang, memandang heran meja makan yang kosong. Meja makan itu benar-benar kosong. Padahal perut Arwin sudah menari-nari minta jatah. Sang ayah duduk santai di atas karpet bulu, membaca tumpukan berkas. Sedangkan Michel tidak terlihat batang hidungnya.
"Michel mana?" tanya Arwin.
"Di kamar. Lagi ngambek," balas si Ayah.
Arwin hanya meletakkan tas di sofa ruang tamu dan menuju kamar Michel. Pria itu kemudian mengetuk pintu si adik.
"Michel di dalam?" sapa Arwin.