On The Inside

Fuseliar
Chapter #25

Memahami tentang Dendam

"Berita hari ini. Mantan menteri PUPR, Rahman Budi Yaksa dinyatakan meninggal dunia pagi dini hari tadi. Mantan menteri PUPR Rahman Budi Yaksa yang mendekam di penjara KPK mengalami serangan jantung pada dini hari tadi dan dinyatakan meninggal dunia pada pukul tiga dini hari."

Michel ternganga saat mie goreng masih menggantung di bibirnya. Gadis itu ingat betul kemarin baru bertemu dengan Prisil yang menangis mencari ibunya. Dalam jangka waktu kurang dari dua puluh empat jam Prisil tiba-tiba jadi anak yatim piatu. Michel pelan-pelan menoleh ke arah Arwin. Tak lupa mie goreng yang masih menggantung di bibir.

Si kakak malah bingung antara melengos, simpati, dan ketawa bersamaan. Jadi pria itu mengambil napas dalam-dalam dan menepuk pundak si adik.

"Ditelen dulu itu mie-nya."

Barulah Michel sadar dan menghabiskan mie yang menggantung di bibirnya. Begitu yang di mulut habis, Michel meletakkan sepiring mie yang baru termakan seperempat di atas sofa.

Gadis itu kemudian duduk bersila menatap si kakak. Tatapan curiga jelas terpeta di wajah si gadis berambut uban.

"Kak, itu mantan menteri PUPR beneran mati kena serangan jantung?" tanya Michel dengan alis bertaut.

Si kakak tetap menatap televisi bahkan berusaha menghindari tatapan tajam dari si adik.

"Ya kan di berita bilangnya gitu. Terus kamu mau kakak jawab apa? Justru kamu mestinya seneng dong, orang yang jadi dalang pembunuhan ibumu mati."

Jawaban Arwin yang enteng dan datar sama sekali tidak bisa meringankan perasaan Michel. Namun gadis berambut uban itu memilih diam dan tidak melanjutkan pembicaraan. Michel kembali mengambil mie-nya dan makan. Michel menghabiskan mie dalam beberapa kali suapan. Begitu selesai makan, ia meletakkan asal piringnya di wastafel dan menuju kamar.

Kamar Michel yang sekarang sangat berbeda dengan kamarnya yang dulu. Dulu, kamar Michel hanya berisi sebuah lemari baju, meja belajar dan rak buku kecil. Kasur dengan dipan yang agak tinggi menempel di sudut tembok. Dibawah dipan terdapat kotak-kotak plastik berisi buku-buku yang cukup berat.

Ingatan Michel melayang ke masa lalu, saat ibunya memberikan tantangan aneh di siang bolong. Michel masih ingat betul wajah ibunya yang tidak terlihat panik atau ketakutan.

"Michel, mau lomba ke kamar? Tapi gak boleh lewat tangga di ruang tengah ya."

Dengan polosnya Michel menurut. Ia menyusuri halaman belakang dan menaiki pohon mangga yang sudah tumbuh melebih atap. Begitu sampai di atas genteng, Michel berjalan menuju balkon kamarnya. Saat berpegangan di tembok balkon, Michel mulai mendengar teriakan dari dalam rumah. Reflek Michel cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Tepat saat Michel berhasil memasuki kamar, terdengar suara pintu yang dipukul keras. Suara erangan dan teriakan terdengar bersamaan dengan pukulan keras di pintu.

Rasa takut seketika merayap di sekujur tubuh Michel. Instingnya berkata untuk sembunyi. Dengan segala ide yang ada di kepalanya, Michel menarik salah satu kotak plastik berisi buku. Dengan modal badan yang cukup lentur, Michel masuk ke bawah dipan dan menutupi tubuhnya dengan kotak plastik berisi buku-buku itu.

Tak lama pintu kamar Michel berhasil dijebol. Seseorang masuk ke dalam kamar. Beberapa detik kemudian, Michel mendengar suara pintu balkon yang ditendang.

"Sialan! Anaknya kabur lewat pohon!" teriak si penyusup.

"Bangsat! Kejar anaknya!" teriak penyusup yang lain dari kejauhan.

Michel yang sedari tadi menutup hidung dan mulut hanya bisa terdiam dan berharap.

"Michel! Di belakang ada maling!" Suara ibunya tiba-tiba terdengar serak dari jauh.

Michel makin meringkuk mendengar teriakan itu. Tubuhnya terasa sangat kaku dan tidak ingin bergerak. Selanjutnya, Michel tidak lagi menutup hidung dan mulut. Tapi menutup telinga dan mata. Samar-samar suara teriakan mulai hilang. Hingga yang tersisa hanya sunyi dan gelap.

Hari itu, Michel takut gelap. Ia tidak bisa memejamkan mata untuk tidur. Michel tidak begitu ingat kapan ia mulai bisa tidur. Tapi ia ingat minum obat tidur selama beberapa tahun. Ia ingat tidak mau keluar rumah di saat matahari menyingsing, karena gelap. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk pulih dari semua itu.

Dari depan pintu kamarnya yang sekarang, Michel meraba lemari bajunya yang ada di sebelah kanan pintu. Gadis itu berjalan maju ke depan. Jari jemarinya kini meraba pintu lemari baju yang dilapisi kaca. Berlanjut ke lemari besi hitam berisi kamera yang tepat di samping lemari baju. Michel berhenti sejenak di depan lemari kamera. Michel ingat bahwa kamera adalah barang yang sering dibawa ibunya. Kemanapun beliau pergi, selalu ada kamera di sana.

Pandangan Michel beralih ke lemari hobi yang berisi album foto. Di antara album foto tersebut, ada yang sampulnya cukup usang. Michel mengambil album itu dan membuka halaman tengah album foto. Michel hapal betul foto di halaman itu. Foto percabangan rel kereta api di stasiun Gubeng. Foto yang diambil bersama ibunya saat berkunjung ke Surabaya.

Tok tok tok

"Michel siap-siap! Sudah jam tujuh! Ayo ganti baju latihan, nanti kalo telat kamu di hukum lagi sama pelatihmu."

Suara ayah Michel terdengar dari luar kamar. Si gadis berambut uban terdiam sejenak lalu menutup album foto di tangannya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menghembusnya pelan. Namun perasaan yang tidak teridentifikasi semakin besar. Michel mengembalikan album foto yang dibawanya dan kembali menghela napas.

"Michel? Ayo buruan mandi. Sudah jam tujuh."

Suara ayah Michel kembali terdengar dari balik pintu. Begitu pula suara helaan napas si gadis berambut uban.

Pantulan wajah Michel terlihat jelas di kaca lemari baju. Kini gadis itu baru sadar, matanya terlihat berkaca-kaca. Napas gadis itu mulai tercekat, lalu berubah seiring air mata yang tiba-tiba mengalir di pipi. Satu pertanyaan yang kini muncul di otak si gadis berambut uban.

"Aku nangis gara-gara apa? Kok aku nangis?" ucap gadis itu lirih.

Tangan gadis itu silih berganti mengusap mata. Tapi bahunya makin berguncang. Tapi ia tidak tahu kenapa di dada terasa berat. Beberapa kali Michel mengambil napas dalam untuk meringankan perasaan berat di dada. Beruntung di napas ke lima belas, dada gadis itu mulai terasa ringan. Berangsur-angsur napasnya mulai teratur dan air mata tidak lagi muncul.

Tok tok tok

"Michel, kamu enggak latihan hari ini? Dari tadi di tanyain ayah loh."

Lihat selengkapnya