Arwin dan Michel kini berdiri bersebelahan, menatap buntalan kasur spons dan jok mobil yang tertata rapi di samping sofa ruang tamu. Kakak beradik ini hanya bisa geleng-geleng melihat seorang pria yang hampir berumur setengah abad itu meletakkan bantal dan guling di atas buntalan kasur spons.
"Ayah punya ide aneh apa ini?" tanya si adik perempuan.
"Jangan bilang ayah mau liburan ke Bali pake mobil. Ayah tau gak sih, nyetir dari rumah ke Bali itu 9 sampai 15 jam?" ujar si kakak laki-laki.
Pria yang lebih tua malah tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Seperti anak kecil yang kegirangan melihat mainan kesukaannya. Sebuah ekspresi yang paling membuat jengah kedua kakak beradik ini.
"Tau kok. Justru karena itu Ayah berpikir, kita harus naik mobil ke Bali. Kan asyik, bisa tidur di mobil. Jadi ayah enggak perlu keluar uang buat booking hotel," jawab pria itu.
Arwin langsung memijat pelipis mendengar jawaban itu. Sedangkan Michel malah terbakar emosi.
"Ayah ini pejabat eselon satu lho! Pelitnya itu loh! Apa gunanya ayah kapan hari pamer beli vila di Bali?!" gerutu Michel.
"Vila-nya lagi disewa orang," jawab Ayah enteng.
Michel ternganga mendengar jawaban si pria paruh baya.
"Kayak di Bali kurang hotel aja," omel Arwin.
"Udah. Ikut aja sama ayah," ujar Ayah berusaha meyakinkan dua anaknya.
"Enggak!" seru dua kakak beradik itu berbarengan.
Ayah menghela napas dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Sedangkan kedua anaknya memberikan tatapan tajam penuh tuntutan.
"Yaudah, ayah booking kamar hotel. Tapi di hotel tempat acara keluarga besar ya?"
Tawaran Ayah disambut anggukan setuju dari kedua anaknya.
"Di mana aja boleh, asal kita enggak tidur di mobil. Kalo perlu, nanti booking kamar yang double bed aja. Biar ayah yang tidur di mobil," celoteh si anak perempuan.