Kampung Inggris, lingkungan yang bahkan penjual ciloknya saja menggunakan bahasa inggris saat melayani pembeli. Itu kesimpulanku ketika mencari tahu lebih lanjut perihal tujuan pelarianku ini melalui internet. Kampung Hijabers, yang pertama ada di kepalaku saat benar-benar menginjakkan kaki di sini. Sebab memang pemandangan mayoritas perempuan berhijab yang kulihat dari ujung jalan satu ke ujung jalan lain. Jika ada yang mengira Kampung Inggris merupakan lingkungan yang tak moderen, itu salah besar. Tidak bisa menyamakan kampung yang satu ini dengan pengertian kampung yang selama ini dipahami. Letak Kampung Inggris berada di Kecamatan Pare, posisinya berada di pinggiran Kediri. Tepatnya berada di perbatasan Kediri, Malang, Jombang, dan Nganjuk. Situasi Kampung Inggris mirip dengan situasi di lingkungan kampus. Bahkan bisa kukatakan seperti sebuah kota di tengah kecamatan yang cukup terpencil. Bisa dipastikan keramaian toko dan hiruk-pikuk menghiasi. Dari jasa servis komputer, kios jajanan, burjo, toko pakaian, dan yang pasti kos-kosan. Semua tampak sibuk dengan langkah kaki cepat dan hilir-mudik sepeda warna-warni yang sepertinya menjadi alat transportasi utama di tempat ini. Semua seolah sedang berkejaran dengan sesuatu.
Sore ini Kampung Inggris terasa begitu bergeliat. Mungkin karena bertepatan dengan malam minggu dan aku sampai di sini menjelang magrib. Terlintas pertanyaan di kepalaku, apakah atmosfer semacam ini akan cocok dengan tujuan awalku? Pelarian. Yang jelas, aku tetap terus menjaga pikiranku bahwa semua ini belumlah pasti sebuah pelarian, sebab sebenarnya belum tentu juga Endang benar-benar hamil. Entahlah, tapi kuyakin saat ini aku akan lebih nyaman berada di lingkungan yang baru, seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Meski keadaan di sini tak seperti yang kubayangkan, tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur, biaya selama tinggal di sini pun telah aku lunasi sebelumnya.
Langkahku terhenti karena ada yang menarik ranselku dari belakang. Ketika kutengok, seorang perempuan setengah baya menyodorkan beberapa bolpoin dan pensil. Merasa tidak membutuhkannya, aku mengangkat tangan dan memberi isyarat. Namun dia malah menarik kerah bajuku dan mengucapkan kalimat yang bernada paksaan bahkan ancaman. Sontak aku jadi berpikir bahwa dia agak kurang waras. Gegas aku melepaskan cengkeram tangannya dari kerah bajuku dan pergi menjauh. Kulihat dia menepi, duduk di depan sebuah toko yang sepertinya toko alat tulis. Dia menatapku sembari mengumpat yang entah apa aku tidak begitu jelas menangkapnya. Jujur, aku heran. Aku baru tiba di tempat ini. Aku baru akan mencoba beradaptasi namun sudah menemui hal macam itu. Jika kulihat dan coba menilainya, dia tampak terawat dari segi penampilan. Tak menggambarkan bahwa dia kurang waras. Bahkan aku mulai merasa, toko alat tulis itu adalah tokonya, sebab tak kulihat ada orang lain di toko berukuran sekitar tiga kali tiga meter itu. Muncul sedikit rasa bersalah karena caraku melepas cengkeramannya tadi cukup kasar, tentu saja itu sebuah reflek. Tapi, ya sudahlah, kesimpulannya seperti kataku tadi, aku hanya harus coba beradaptasi dengan hal-hal yang mungkin tak biasa kutemui. Toh selama ini aku tak pernah bermasalah dengan hal itu. Dan, bukankah setiap makhluk memang harus bisa beradaptasi dengan baik?
Selama di Kampung Inggris aku akan tinggal di sebuah camp. Camp Livia, begitu yang tertulis di atas pintu. Cukup keren jika terdengar, camp, meski Livia terkesan terlalu feminim untuk nama camp laki-laki. Dan, menurutku, camp ini lebih cocok disebut kontrakan. Aku yakin camp ini dulu sebuah rumah yang yang disulap menjadi camp para peserta bimbingan. Bisa dilihat dari bentuk bangunan dan tata ruangnya. Sebuah ruang tengah berukuran sekitar lima kali enam meter, tiga kamar tidur, satu dapur, satu toilet, dan bangunan baru yang memanjang di sisi belakang untuk kamar tambahan. Awalnya, kupikir akan diberi tempat tinggal sebuah kamar kos pribadi. Meski begitu, aku merasa masih punya sedikit keberuntungan di tengah kekecewaanku, yaitu letak camp-ku berada di sisi paling timur Kampung Inggris, yang berarti lingkungannya tak terlalu ramai jika dibanding dengan camp-camp di sisi tengah dan barat. Kedatanganku di sini disambut oleh pemuda yang mungkin umurnya sepantaranku. Dia memakai baju hitam bertulis Seized, sekilas hal itu mengingatkan aku pada temanku. Seized adalah band yang disukai temanku. Entah apa alirannya. Pernah dengan semangat temanku memaksaku mendengarkan lagu Seized, tapi kepalaku malah pusing karena saking cepatnya tempo ketukan musik band itu. Dari cerita pemuda yang memakai kaos itu aku tahu ternyata Seized adalah nama sebuah band yang berasal dari Kediri. Sebenarnya aku tak menanyainya, dia sendiri yang berinisiatif memberitahuku, mungkin karena aku terus memerhatikan logo di kaosnya.
Usai memperkenalkan diri sebagai tutor dan sedikit berbasa-basi, dia menunjukkan kamar yang akan kutempati, lalu pergi dengan alasan harus menjemput peserta bimbingan baru lainnya. Kamarku berada paling depan dengan jendela menghadap langsung ke teras. Boleh juga, pikirku. Setelah menaruh tas, aku ke teras untuk menikmati rokok dan coba memelajari lingkungan sekitar. Kulihat seorang lelaki berperawakan lumayan gemuk datang dan masuk ke kamarku. Rupanya dia teman sekamarku, atau sampai malam ini dia teman sekamarku. Sebab dari ceritanya, besok pagi dia akan balik ke kota asalnya, dia telah menyelesaikan program bimbingan di angkatan sebelumku. Melihat wajah dan perawakannya, aku teringat film Taipe berjudul You’re The Apple of My Eyes, dia mirip Aho, salah satu tokoh di film yang diangkat dari sebuah novel itu. Dari gelagatnya, dia orang yang acuh, tidak terlalu peduli dengan sekitar, dan seperti selalu sedang memikirkan sesuatu yang berat. Kamar seketika wangi dengan parfum murahan ketika aku masuk, kuyakin itu pasti ulah Aho, sebut saja begitu. Pasti dia menyemprotkan parfum di kamar kami. Brengsek, rasanya hina sekali. Apa aku sebau itu hingga dia harus menyemprotkan pewangi sebanyak ini?
Ternyata situasi berbalik ketika malam hari menjelang tidur. Bau yang kupikir menjadi masalah bagi Aho nyatanya adalah masalah buatku. Aho-lah yang bau, berisik pula. Dia mengorok. Brengsek! Dan yang lebih parah, bau mulutnya ketika ngorok terpampang nyata saat dia tidur miring menghadap ke arahku. Untung aku ingat kami hanya akan satu kamar semalam ini. Ah, aku tidak bisa tidur dalam keadaan terpaksa. Kuputuskan keluar camp, mencari udara segar dan menunggu kantuk benar-benar menyerang. Aku melangkah keluar halaman camp, menengok ke arah kanan di mana jalanan sudah terasa lengang. Kulihat seseorang duduk di remang, mengisap rokok yang baranya sudah mendekati jarinya. Kuhampiri dia dengan maksud mencari tahu tempat untuk mendapat rokok.