“Wah, kalau jam segini toko yang dekat sudah pada tutup. Ini saja, Mas. Besok pagi baru beli,” ucap lelaki yang pada akhirnya kuketahui bernama Mas Abbas sembari dia menyodorkan rokok.
Malam ini aku mengetahui fakta baru tentang Kampung Inggris, dan fakta itu aku dapat dari cerita Mas Abbas, pemilik tempat persewaan sepeda yang ada di sebelah barat camp-ku. Mas Abbas adalah warga lokal. Sudah lebih dari lima tahun dia menyewakan sepeda sebagai mata pencarian. Dia banyak bercerita tentang perjalanan Kampung Inggris dari waktu ke waktu. Termasuk menceritakan fenomena-fenomena yang ada. Saat mendengarkan ceritanya, aku sering kali menahan napas karena bau pengar dari tubuh Mas Abbas yang terbawa angin menampar-nampar hidungku. Aku yakin dia memang jarang mandi, tampak dari kilatan minyak di mukanya. Meski bau badannya membuatku tak nyaman, Mas Abbas adalah sosok yang humoris dan menyenangkan. Aku bisa menangkap bahwa dia orang yang polos. Mas Abbas bercerita setidaknya ada empat alasan orang datang ke Kampung Inggris. Hal itu dia simpulkan dari pengamatannya selama ini.
Pertama, orang yang benar-benar ingin belajar bahasa inggris. Orang dengan tipe ini biasanya akan sangat serius mengikuti jalannya bimbingan, rajin mengerjakan tugas, dan tidak pernah membolos. Mereka adalah orang yang memiliki target karena harus melanjutkan impian yang sebenarnya. Entah mendaftar pramugari, mendaftar kuliah, bekerja di luar negeri, dan beberapa tujuan untuk masa depan lainnya.
Kedua, orang yang mencari kebebasan. Aku cukup kaget ketika mendengar penjelasan Mas Abbas tentang alasan kedua itu. Ternyata beberapa orang datang ke Kampung Inggris sengaja untuk membuktikan bahwa mereka dapat hidup mandiri saat jauh dari keluarga. Sebenarnya aku pernah memikirkan hal itu, untuk apa anak orang berpunya harus jauh-jauh ke sini guna belajar bahasa inggris? Bukankah mereka bisa membayar guru privat untuk belajar di rumah, atau setidaknya di kota mereka sendiri? Mungkin Elwa adalah contoh yang bisa menggambarkan fenomena ini, gadis yang tadi pagi berkenalan denganku saat sama-sama mengurus administrasi bimbingan di kantor lembaga. Dia memiliki latar belakang yang mirip denganku, anak seorang ketua DPRD Provinsi di tempatnya tinggal. Menarik juga, anak dari orang mapan yang mendambakan kebebasan. Padahal selama ini kupikir dengan uang dan fasilitas yang ada, mereka dapat dengan mudah memilih kesenangan. Ya, sepertinya memang benar, selain selera, kebebasan adalah hal yang tak bisa dibeli dengan uang.