Terjadi gempa bumi pikirku ketika mendengar suara gaduh dan pijakan kaki yang seakan tengah bergegas. Sembari mengusap mata dan berusaha benar-benar menyadarkan diri, kutengok Aji yang ternyata sudah tak berada di tempatnya. Aku beranjak dan memeriksa keluar. Rupanya pusat kegaduhan ada di camp bagian belakang, di mana antrean untuk mandi sudah panjang berjajar. Ah berlebihan, ini bukan camp militer yang mengharuskan kami tergesa-gesa agar tak mendapat hukuman.
Ternyata Aji sudah duduk di teras dengan wajah bersinar, pakaiannya pun sudah ganti. Bisa kupastikan dia telah mandi sebelum antrean panjang terjadi. Ya sudahlah, aku tunggu saja mereka semua selesai, biar aku mandi paling akhir. Antrean lebih didominasi mereka yang mungkin berumur tiga atau empat tahun di bawahku. Dari obrolan yang kutangkap, mereka murid SMA yang memanfaatkan musim libur panjang dengan belajar di sini. Banyak pula kudengar obrolan kekanak-kanakan, dan tentu alasanku bertambah kuat untuk mandi paling terakhir agar tak harus terlibat dalam obrolan remeh-temeh itu.
Agenda pertama dimulai jam delapan pagi. Semua peserta dikumpulkan di satu tempat yang sepertinya memang akan menjadi kelas kami. Bukan tempat khusus sebenarnya, hanya di sana memiliki ruang tengah yang cukup luas. Aku tak habis pikir, agenda dimulai jam 8, lalu untuk apa jam 6 orang-orang sudah segaduh tadi?
Di angkatanku, ada sekitar 25 peserta bimbingan dengan 5 orang tutor. Tiap tutor juga memiliki nama yang ketika kami memanggilnya harus diawali dengan kata mister untuk tutor lelaki dan miss untuk tutor perempuan. Dalam pembelajaran, peserta laki-laki dan perempuan digabung menjadi satu. Dijelaskan juga bahwa tiap hari akan ada empat kali pertemuan, dan dari agenda satu ke yang lain dijeda dengan istirahat.
Satu per satu kami diminta memperkenalkan diri dengan menggunakan bahasa inggris. Aneh juga, pikirku. Materi bimbingan belum diberi, tapi kami sudah disuruh berkenalan menggunakan bahasa inggris. Bukankah tujuan orang datang kemari untuk belajar bahasa inggris?