Onar di Kampung Inggris

Panji Sukma
Chapter #9

Keakraban

Kegiatan belajar hari ini diliburkan karena bertepatan dengan perayaan hari raya Maulid. Hal itu aku manfaatkan untuk membuat agenda berekreasi ke tempat menarik di sekitar Kampung Inggris. Setelah pagi ini mengadakan rapat singkat di depan teh hangat sembari saling berselancar di halaman google, akhirnya kami putuskan untuk mengunjungi dua tempat, Candi Surowono dan Goa Surowono. Menurut data yang kami dapat, letaknya tidak terlalu jauh dari kampung Inggris, hanya sekitar empat atau lima kilometer. Kami pikir cukup terjangkau jika ke sana menggunakan sepeda. Ketika niat kami untuk berekreasi itu kusampaikan di grub whatsapp, di luar dugaan, ternyata semua ingin ikut dalam agenda itu. Maka berkumpul kami di halaman camp Sekutu, semua tampak memasang wajah ceria. Mungkin agenda seperti ini memang telah lama mereka tunggu.

Karena tak mau matahari naik terlalu tinggi dan panas menyerang, pukul tujuh pagi kami berangkat menuju arah timur Kampung Inggris. Formasi rombongan yang awalnya lelaki di depan dan perempuan di belakang, perlahan-lahan mulai berubah. Ya, sepertinya memang putik-putik asmara sudah mulai tumbuh di sini. Mereka seperti telah memiliki target masing-masing dan bersepeda di samping orang yang dijadikan target. Di perjalanan, kulihat senyuman-senyuman malu, gombalan-gombalan receh saling dilempar. Tak terkecuali dengan Aji. Aku baru sadar kalau Miss Ria ternyata ikut dalam rombongan kami, padahal dia seorang tutor. Aku yakin, pasti Aji sebelumnya telah memberikan undangan khusus pada Miss Ria. Ya, terserah dia saja, kupikir juga tak ada salahnya Miss Ria ikut.

Sesampainya di Candi Surowono, aku lebih memilih merebah di padang rumput pelataran candi sembari mengamati kelakuan Sekutu dan semua yang ikut dalam rombongan. Para perempuan sibuk berfoto, dari pose cantik, hingga pose aneh. Selfie dengan memanyunkan bibir, misalnya. Beberapa Sekutu lebih memilih untuk menaiki candi dan mengambil video dari atas, sedangkan sisanya sibuk berkejar-kejaran dengan target masing-masing. Cara pendekatan yang kekanak-kanan bagiku. Dan tentu saja, Arifin-lah yang paling banyak dikerubungi. Aku bisa melihat wajah polosnya salah tingkah saat beberapa perempuan berusaha mencari perhatiannya dengan meminta foto bersama.

“Kenapa tak gabung sama mereka?” tanya Elwa yang ternyata sudah duduk di sebelahku. Aku mengubah posisiku dari rebah menjadi duduk.

“Kamu sendiri kenapa?” tanyaku balik.

“Sudah capek tadi di jalan. Mending duduk di sini, istirahat.”

“Oh.”

“Kemarin kamu jadi ke toko buku itu lagi?”

“Iya. Tapi tutup.”

Lihat selengkapnya