Terbayar sudah lelah kami setelah seharian kami mengeksekusi rencana tadi malam. Bukan hanya dagangan Bu Wati yang laku, namun juga banyak yang kini mulai tahu kebenaran tentangnya. Dan lagi, gerakan kami menginspirasi beberapa peserta bimbingan dari lembaga lain. Bahkan, ada salah satu dari mereka yang seorang konten kreator, mengangkat Bu Wati sebagai sosok inspirasi dari Kampung Inggris. Dia juga memviralkan tentang perjuangan Bu Wati, seorang yang bertahan hidup seorang diri di tanah kelahiran yang tak lagi terasa seperti seharusnya. Aku benar-benar puas. Berulang kali Bu Wati mengucapkan terima kasih padaku. Rasanya ada semacam kepuasan yang lahir di dada ini. Sepertinya benar yang pernah kudengar, cara paling sederhana membahagiakan diri sendiri adalah dengan membahagiakan orang lain. Sebelum pamit aku menyampaikan sedikit pesan padanya agar tidak mengulangi hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Kalau dipikir memang tak pantas aku menasihati, tapi aku memang harus menyampaikannya demi kebaikan Bu Wati.
Sekembalinya kami ke camp, ternyata lembaga kedatangan dua peserta baru, satu perempuan dan satu lelaki. Aku belum bertemu dengan peserta baru perempuan, karena dia langsung menuju camp perempuan. Kudengar kabar dari salah satu Sekutu bahwa dia sangat cantik. Aku hanya mengangguk untuk meresponsnya. Lagipula aku sedang tidak ingin membahas hal semacam itu selepas bergelut dengan kemanusiaan. Bahkan aku masih masih kerap tersenyum sendiri jika mengingat apa yang telah kami lakukan seharian ini.
Sosok Danto cukup menyita perhatianku dan Sekutu. Jaket dan sepatu gunung, ikatan kain tenun melingkar di kepala, begitu kira-kira penampilan Danto. Dan lagi, belum lama dia datang dan masih menenteng tas ransel, dia langsung membahas halaman camp Sekutu yang sama sekali tak terdapat tumbuhan. Aku sempat memberi alasan bahwa keadaan memang sudah seperti itu saat kami datang, apalagi halaman camp yang berupa cor tidak memungkinkan untuk ditanami.