Kami menuju Kota Batu bertiga. Awalnya hanya aku dan Danto, tapi Elwa kembali merengek untuk ikut. Kami menyewa mobil bak terbuka. Saat berangkat, aku sengaja memilih jalan melewati toko buku yang pada akhirnya kutahu nama pemiliknya dari salah satu tutor. Koh Edwin. Tapi seperti yang kuduga, toko itu tutup. Apa mungkin benar perkiraanku bahwa Koh Edwin menutup toko itu untuk selamanya?
Saat perjalanan sampai di daerah Pujon yang jalannya dipenuhi kelokan, dari kemudi aku melempar beberapa pertanyaan pada Danto. Terutama perihal tujuannya belajar di Kampung Inggris. Tentu pasti ada alasan Danto datang jauh-jauh dari Salatiga.
“Mengisi liburan kuliah,” jawab Danto sembari membuka lembar demi lembar buku yang sepertinya sebuah buku catatan.
Kupikir saat ini dia telah atau hanya bekerja seperti yang dia sampaikan, namun ternyata dia masih belum menyelesaikan pendidikannya. Bukan apa-apa, jika dilihat dari perawakan dan garis wajahnya, dia seperti empat atau lima tahun lebih tua dariku.
“Ya begini memang keadaannya. Sepertinya, ketimbang mengikuti pelajaran di kampus, aku lebih sering mendemo kampus. Hahaha,” ucap Danto sembari tersenyum dan melempar muka ke sisi luar jendela.
“Oh, ya ya, aku paham. Mahasiswa yang kritis dan sering bolos mata kuliah kan maksudmu? Hahaha. Di kampusku juga ada yang kayak kamu.”
“Hahaha. Tidak juga. Sebenarnya aku saja yang bandel. Aku lebih tertarik membuat agenda di luar mata kuliah.” Danto menepuk paha kiriku. “Kamu suka naik gunung?” tanya Danto sembari menunjuk ke arah kanan agar aku membelokkan mobil.
Entah kenapa tiba-tiba Danto bertanya seperti itu, apa mungkin dia mulai merasa bosan karena aku terus bertanya padanya, dan kini dia mulai balik bertanya agar gantian aku yang sibuk menjawab? Kutengok Elwa yang duduk di antara aku dan Danto tampak sudah terlelap. Padahal aku ingin dia juga ambil suara, agar suasana lebih cair dan memperlebar tema obrolan. Padahal saat awal berangkat dia sangat bersemangat. Mungkin dia lelah. Atau yang lebih masuk akal, dia memang tidak terbiasa begadang. Beberapa teman perempuanku pun begitu, punya jam malam untuk tidur dan selalu tertib dengan itu.
Kujawab pertanyaan Danto dengan apa adanya. Aku belum pernah naik gunung. Aku tidak tahan dingin, lagi pula di dalam kepalaku gunung adalah sesuatu yang sangat besar, pastilah berat untuk dapat mencapai puncak. Rasanya mustahil aku sanggup.
“Ah tidak juga. Sekali kamu mencapai puncak, aku jamin kamu bakal ketagihan. Bagaimana kalau minggu depan kita naik gunung? Setiap Sabtu Minggu kita libur, ‘kan?”