Ini hari pertama Danto mengikuti bimbingan. Ternyata dia sudah begitu mahir dalam berbahasa inggris, beberapa pertanyaan dari Tutor dengan bahasa inggris dia jawab dengan lancar. Aku tak habis pikir, sepertinya memang benar adanya alasan Danto datang ke sini hanya untuk sekadar mengisi waktu. Danto benar-benar menyita perhatian kami, seluruh penghuni camp Sekutu, baik para lelaki dan para perempuan. Nyatanya dia begitu supel dalam berkomunikasi. Entah aku merasa dia seperti tak selevel dengan kami, Danto begitu tampak dewasa dan dari sikapnya, dia seolah sedang ngemong kami. Satu-satunya yang membuat dia sedikit aneh hanya dia selalu membawa buku catatan kecil. Saat bimbingan Mrs Ria, aku coba mengintip apa yang sedang dia tulis, tapi mendadak dia langsung menutup buku catatannya sembari tersenyum kecil seolah memberi pesan bahwa apa yang ditulis merupakan sebuah privasi.
Malam ini camp kosong karena Sekutu kembali menerima tantangan futsal dari salah satu bimbingan belajar yang cukup punya nama di Kampung Inggris. Hanya aku dan Danto yang tak ikut. Danto memilih untuk bersepeda, berkeliling Kampung Inggris untuk mencari angin. Perlahan kukeluarkan ponsel yang lama kusimpan, kumasukkan simcard dan menghidupkannya. Entahlah, tiba-tiba aku ingin menelepon Meutia, pacarku. Mungkin dengan meneleponnya aku bisa sedikit melepas beban, membahas hal-hal ringan atau sekadar mengarang cerita kalau aku rindu padanya. Ketika ponsel menyala, aku abaikan ratusan pesan yang masuk baik teman-temanku ataupun pesan di grub whatsapp. Aku langsung menuju menu kontak dan menelepon Meutia. Panggilanku tak mendapat jawaban. Tiga kali kucoba tetap saja tak membuahkan hasil, bahkan panggilan yang terakhir ditolak. Aneh sekali, tidak biasanya dia seperti itu, lagi pula malam-malam begini kupikir tidak ada alasan yang membuat dia harus menolak teleponku. Aku tahu kebiasaannya jam, di jam-jam ini jika tidak bersamaku, dia paling hanya di kos. Kalau pun sedang keluar harusnya dia tak menolak panggilanku. Karena merasa ada yang tak biasa, aku coba buka whatsapp Meutia, mungkin dia meninggalkan pesan. Dan benar saja, ada 78 pesan masuk darinya. Pesan itu pun berderet gabungan dari pesan yang dikirim beberapa hari. Perhatianku terfokus pada sepuluh pesan terakhir karena diketik dengan huruf kapital. Intinya dia marah dan putus asa menunggu kabar dariku, dan jika dalam dua hari ke depan masih tidak ada kabar, dia menyimpulkan berarti hubungan kami berakhir. Pesan terakhir dikirim lusa kemarin, berarti dua hari ke depan yang Meutia maksud adalah hari ini. Mati aku.
Mungkin lebih dari dua puluh menit aku hanya dia menatap langit-langit, tetapnya sudut kanan yang makin banyak laba-laba bersarang. Aku bingung harus bersikap atau berbuat apa, antara masih belum percaya dengan yang terjadi dan menyadari jika aku tidak merasa patah hati karenanya. Aneh sekali, padahal selama ini aku sayang padanya, sampai terakhir kali kami bertemu sebelum keberangkatanku ke Kampung Inggrispun semua masih baik-baik saja. Sepertinya benar kata orang orang, LDR adalah omong kosong, dan sebuah hubungan hanya bisa berjalan jika selalu bertemu. Nyatanya semudah itu Meutia mengatakan putus, sebuah alasan sepele untuk mengakhiri hubungan. Sepertinya semenjak kehamilan Endang, hal-hal sepele namun menjadi sebuah masalah selalu menimpaku, apa ini karma dari pelarianku? Dan apa mungkin ini sebuah isyarat agar aku pulang dan bertanggung jawab atas perbuatanku. Pikiranku berujung pada kesimpulan, andai Meutia tidak meminta putus, tetap saja hubungan kami akan berakhir saat kelak dia tahu aku menghamili perempuan lain. Ah sudahlah, lebih baik kumatikan ponsel sebelum ada pesan masuk dari Endang dan semakin merusak suasana hatiku.
“Ada apa, Nar? Dari tadi pegangin kepala?” tanya Danto tiba-tiba. Entah kapan dia datang, yang pasti posisi duduknya sudah tampak nyaman, menandakan jika dia sudah cukup lama duduk di belakangku. Lucu juga sampai aku tidak menyadari kedatangannya, padahal situasi ruang tamu sangat sepi.
“Enggak papa. Cuma ngasih kabar orang rumah.”
“Sudahlah, aku tahu ada sesuatu. Cerita saja.”
“Hahaha, enggak ada apa-apa kok,” jawabku sembari mematikan ponsel dan mengeluarkan simcard.”
“Dari tertawamu saja aku bisa tahu ada hal yang tak beres.”
Sepertinya memang gelagatku tidak bisa ditutupi. Sudahlah, aku juga malas berakting dan menyeolahkan jika sedang menutupi sesuatu. Aku rebahkan badanku dan menelentangkan kedua tanganku. Kepalaku berjarak sekitar lima kilan dari kaki Danto yang bersila.
“Entahlah, sepertinya dunia ini memang sering berjalan tidak seperti yang kita inginkan. Enak kali ya seandainya kenal dengan Tuhan, kita bisa riquest.” Kata-kata itu seketika muncul dariku.
“Kecuali kamu jadi penulis, kamu bisa menciptakan tokoh dan menulis kisahnya sesuai keinginanmu. Serasa jadi Tuhan, bukan?”