Hari ini Kampung Inggris dikepung rasa mencekam. Terjadi bentrok pemuda antara dua lembaga bimbingan. Menurut kabar, perselisihan yang awalnya karena masalah saling sindir antara lembaga bimbingan, kini berubah menjadi perang etnis karena salah satu lembaga bimbingan mayoritas berasal dari suku tertentu. Kupikir memang rawan sekali hal semacam itu terjadi. Perkara identitas kesukuan menyeruak apabila solidaritas yang berlebihan dikedepankan ketika sebuah permasalahan pecah. Kekacauan semakin melebar ketika warga setempat yang awalnya berniat melerai malah ikut menjadi korban dan tersulut kemarahan. Kini ada tiga kubu besar yang bertikai.
Seluruh lembaga bimbingan mengimbau para peserta bimbingannya untuk tidak keluar camp. Aji berinisiatif agar para perempuan di lembaga bimbingan kami diungsikan ke camp Sekutu. Berjaga-jaga kalau ada hal yang tak diinginkan. Semua berkumpul di ruang tengah sembari memantau perkembangan terbaru dari ponsel. Sirine mobil polisi berkali-kali kudengar lewat, juga puluhan TNI yang mondar-mandir di depan camp. Jujur, aku benar-benar tak menyangka hal seburuk ini bakal terjadi di Kampung Inggris. Aku berharap keadaan segera membaik. Sebab kudengar sudah ada beberapa korban luka yang cukup parah.
Ketika aku menengok dari balik tirai jendela, kulihat Mas Abbas lewat dengan tongkat besi di tangan. Kupanggil dia. Dari celah jendela yang sedikit kubuka, aku meminta Mas Abbas untuk menemuiku di celah sempit antara camp Sekutu dan rumah warga yang ada di sebelah timur. Kurasa tempat itu cukup aman dan tak terjangkau oleh orang lain. Entahlah, rasa penasaranku mengalahkan rasa takut. Di celah yang ukurannya hanya cukup dilewati bahu orang dewasa itu Mas Abbas menceritakan bahwa bentrok ini bukan kali pertama terjadi. Dulu pernah terjadi bentrok yang lebih parah. Jatuh korban jiwa hingga beberapa orang pelakunya harus melarikan diri.