Sinar matahari menerobos sela gorden, memaksaku membuka mata meski kantuk masih kental terasa. Hawa dingin Kota Batu seketika menyeruak seiring dengan usahaku menyadarkan diri sepenuhnya. Kulihat Elwa masih lelap. Setengah wajahnya jatuh di dadaku. Kugaris wajahnya dengan ibu jariku, berhenti di bulu matanya yang lentik. Setelah kunikmati beberapa saat kehangatan itu, kuangkat perlahan kepala Elwa dan membaringkannya sembari membenahi posisi bantal. Kuselimuti kembali dia, dan sebuah kecupan kudaratkan di pelupuk matanya yang pejam.
Aku menuju pintu kaca yang menjadi pembatas kamar dan balkon. Kusibakkan penuh gorden dan membuka pintu itu. Seketika hawa dingin masuk hingga membuatku menggosok-gosok telapak tangan. Beruntung aku mendapat kamar di lantai dua sehingga bisa menikmati hamparan luas kebun kol dan wortel, berjajar rapi, bertingkat dalam sengkedan berbatas bukit. Di kejauhan tampak garis gunung yang menjulang. Beberapa petani telah sigap dengan sabit, menyiangi rumput-rumput yang tumbuh di antara tanaman.
Entah kenapa, muncul keinginan untuk kelak menetap di tempat seperti ini. Jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk. Mungkin seperti itu pula impian masa tua dari semua orang. Ah, kuputuskan, itu juga akan menjadi impianku dan aku harus mencapainya. Tentu saja semua itu butuh perjuangan, dengan kata lain aku harus mapan secara ekonomi untuk bisa menikmati hari tua. Memiliki usaha yang bisa mandiri berjalan dengan sistem agar aku tak lagi disibukkan perkara teknis.
Tiba-tiba sebuah pelukan melingkar dari belakang. Ada yang bersandar di punggungku. Rupanya Elwa telah terjaga.
“Nyenyak?” tanyaku.
Elwa tak menjawab. Pelukannya mengerat. Dia buka telapak tangannya lebar-lebar, mengelus beberapa kali dadaku sembari menciumi tengkukku. Seketika aku membalik badan dan menggendong Elwa menuju ranjang. Kugunakan kaki untuk menutup pintu kaca. Kurebahkan tubuh Elwa dan segera menyusulnya. Kami kembali bergumul seperti tadi malam.
“Terima kasih sudah menepati janji untuk menemuiku,” ucap Elwa lemah.
Kami seolah sedang merayakan pertemuan pertama kami setelah dua minggu usai kami kembali dari Kampung Inggris. Ya, Kampung Inggris. Tak terasa dua minggu sudah aku meninggalkan tempat itu. Rasanya baru kemarin aku pertama kali menginjakkan kaki di sana. Entah kenapa pula, sejak kepulangan kala itu, pikiranku tetap tertinggal di sana. Sepertinya tempat itu memang mudah untuk membuat siapa saja merasa rindu, dan, aku adalah salah satunya.
Usai kami bercinta, Elwa berjalan dengan setengah telanjang ke kamar mandi. Senyum sipu dia lempar. Isyarat mengajakku turut. Tapi aku tolak dengan gelengan dan tawa yang cukup lebar. Dia pun membalas dengan tawa bahak sembari mengucir rambutnya ke atas. Kulit putih dan leher jenjang Elwa, oh, rasanya terlambat sekali aku menyadari hal itu selama ini. Urat biru di wajahnya kentara, seperti sungai bercabang menuju hilir. Sejenak aku bertanya dalam diri, apakah dia Elwa yang kukenal selama ini. Aku merasa ada yang berubah selama kami tak bertemu dua minggu ini. Atau mungkin sudut pandangkulah yang berubah padanya. Aku juga baru tahu, meski tak terlalu banyak selisihnya, ternyata Elwa lebih tua dariku. Benar-benar tak tergambar dari fisiknya, dia tampak jauh lebih muda dari gadis-gadis sepantarannya. Kuyakin pembawaannya yang senantiasa riang turut berpengaruh. Ada semacam anggapan, kerap berpikir positif akan membuat seseorang jadi awet muda, dan mungkin Elwa adalah salah satu buktinya.
Elwa keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut kepala. Dia berjalan menuju meja samping ranjang lalu mengangkat gagang telepon. Dua cangkir teh hangat dan beberapa camilan dia pesan pada resepsionis. Setelahnya, dia duduk bersila di atas ranjang, menghadap padaku sembari sedikit memiringkan kepala, seolah sedang membaca sesuatu dari wajahku.
“Ada apa?” tanyaku karena merasa heran.
“Bukan. Eh, maksudku tidak apa-apa.”
Elwa meraih kamera yang tergeletak di atas meja lalu duduk bersandar di dipan, sejajar denganku. Kepalanya rebah di pundakku. Dia tunjukkan beberapa gambar di kamera. Gambar-gambar yang dia ambil selama kami bimbingan. Tak kusangka, ternyata Elwa banyak sekali mengambil gambarku secara diam-diam. Bahkan ada sebuah gambar yang dia ambil saat kami pertama bertemu di kantor lembaga. Sebelum aku menanyakan yang ada di dalam kepalaku, Elwa terlebih dahulu berucap.
“Kamu mirip dengan mantan tunanganku.”