Ini adalah minggu pertama ayah tak lagi menjabat sebagai walikota. Dua periode sudah ayah menjadi wakil walikota, sehingga tak mungkin lagi mencalonkan diri, kecuali ayah maju ke tingkat provinsi. Tapi ayah memang tak berminat dengan itu. Katanya, politik begitu melelahkan. Dia ingin menikmati hari tua dengan bersantai. Dia mundur dari partai yang telah membesarkan namanya. Lagi pula beberapa perusahaan ayah semakin berkembang pesat dan membuatnya harus mendapat perhatian lebih. Sulit rasanya menjadi pejabat sekaligus menjadi direktur dari beberapa perusahaan dalam sekali waktu. Sebab itu ayah pernah menyampaikan padaku agar aku mau membantunya mengurus perusahaan. Mulai menangani beberapa proyek kecil dengan alasan untuk aku belajar bertanggung jawab. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku kurang berminat dengan bisnis, dan lagi pula kuliahku belum selesai. Tapi keadaan membuat aku tidak bisa mengelak. Sebagai anak tunggal tentu aku digadang-gadang. Ayah dan ibu pun tak lagi muda. Jarak usai kami cukup jauh karena ayah dan ibu tergolong telat memiliki momongan.
“Belum?” tanya ayah mengagetkanku sembari membuka pintu ruang kerja. Tangan kirinya menggenggam cangkir.
“Sepertinya bakal sampai nanti malam.”
Sore ini aku menyortir beberapa buku ayah untuk kusumbangkan ke perpustakaan jalanan yang dikelola salah satu teman Danto. Mungkin sekitar empat ratus atau lima ratus buku. Ayah sudah mengizinkannya. Menurutku ayah sudah tidak butuh buku-buku itu. Dia bukan lagi pejabat. Sebagai warga biasa, punya harta melimpah sudah cukup untuk membuat orang hormat, dan tentu saja itu bukan masalah bagi ayah. Ketimbang hanya jadi pajangan, lebih baik buku itu keluar dari rumah ini. Toh ayah juga tidak pernah membacanya. Aku yakin, di luar sana buku-buku itu akan lebih bermanfaat.
Suara lonceng di pintu berbunyi. Kulihat jarum jam dinding menunjukkan pukul lima. Tepat waktu sekali Danto, pikirku. Sebelumnya kami memang sudah janjian untuk mengantar buku-buku ayah ke perpustakaan teman Danto.
“Masuk, Dan.”
Kami langsung menuju ruang kerja ayah.
“Belum selesai?” tanya Danto usai melihat beberapa tumpukan buku yang tiap tumpukannya berisi sekitar tiga puluhan buku.
Danto meraih buku yang tercecer dan coba membantuku.
“Dan, coba kamu lihat itu,” ucapku sembari melongokkan kepala ke arah laptop yang layarnya terbuka di atas meja kerja ayah.
“Apa?”