Once She's Gone

ranieva
Chapter #2

Home

Dari sebuah kota yang terang

ke kota kecil yang asing;

di atas putaran karosel

berputar dan berputar.

Ketinggian yang membuat pusing

bintang-bintang berjatuhan dari tanah.

Dunia segenap jadi cemerlang–

oleh tatapan dan suaranya.

(Lang Leav–Kota Sirkus)

Seorang anak kecil yang mengenakan rok biru muda menjatuhkan es krimnya di depan gue dan membuat gue ditabrak orang dari belakang karena berhenti tiba-tiba. Bandara Internasional Minangkabau Sabtu ini terlihat sepenuh Soekarno-Hatta di hari libur. Gue mengumpat dalam hati karena si penabrak ngomel dan si anak kecil menangis. Setelah Ibu berhasil menenangkan anak kecil itu dan mengantarnya ke sang ibu, gue menghela napas panjang, mendadak paranoid dengan insiden kecil nggak penting di detik pertama gue menginjakkan kaki di Padang.

"Yuk Rez, kita ke terminal shuttle bus."

Gue mengernyit ke Ibu dengan seember protes siap terlontar karena jelas gue berpikir kami akan naik taksi. Ibu hanya terkekeh pelan sembari menyeret tangan gue, "Udah kamu nggak usah protes. Kamu belum pernah kan, naik bus dari bandara ke Kota?"

Dan berakhirlah gue menahan rasa pegal kaki gue yang tertahan di sela kursi bus yang sejak gue lahir selalu terasa sempit. Gue bukan orang sombong yang nggak mau naik bus, tapi selama ada pilihan transportasi yang lebih memberi ruang kepada kaki gue yang amit-amit panjangnya, gue nggak akan memilih bus. Perjalanan dari bandara ke Kota Padang sebenernya nggak terlalu jauh dan lama, ditambah Ibu yang selalu setia membuat pikiran gue teralihkan dengan sedikit kemampuan tour-guide amatirnya.

Dari orok gue hidup di Jakarta dan ini pertama kalinya gue menjajaki kampung halaman setelah lebih dari seperempat abad gue nggak mengakui tempat ini sebagai asal muasal gue dibuat. Mata gue silau karena kesederhanaan kota yang sepanjang jalan gue lewatin. Nggak ada gedung-gedung tinggi, kemacetan, sampai lampu-lampu gemerlap. Kalau nggak sawah, rumah, ya paling hanya ada toko-toko kecil yang sedikit ramai.

Kami tiba di Lubuk Buaya sejam kemudian. Meski hanya sejam, rasanya kaki gue udah kayak jelly. Padang sepertinya baru pulih dari banjir yang beberapa waktu lalu mampir. Mengingat hujan akhir tahun semakin sering turun, gue nggak heran keadaan di sini nggak jauh berbeda dengan Jakarta.

"Itu rumah kamu, Rez."

Ibu membuyarkan lamunan gue dengan mengarahkan telunjuknya ke arah gang sempit–lebih tepatnya ke arah sebuah rumah kecil yang jarak dengan rumah di kanan dan kirinya hampir nol meter alias mepet sekali. Bangunan itu terlihat seperti sebuah ruangan dibandingkan sebuah rumah. Sangat kecil, berantakan, bahkan bisa dibilang mendekati kumuh.

"Yuk masuk."

Yang menyambut kami di balik pintu yang bisa seolah-olah rubuh itu adalah seorang wanita tua dengan hijab menutupi kepalanya dengan rapi, model yang sederhana berwarna merah muda. Matanya terbelalak mendapati kami masuk ke rumah dengan beberapa tas dan ransel. Sesaat kami bertiga terdiam, saling memandang, untuk kemudian wanita itu berlari memeluk Ibu. Sangat erat.

"Uni Dila, lamo ndak basuo baa kabanyo!"

Lihat selengkapnya