‘30 November kita ketemu di tempat biasa’
Bergelung di sofa dengan ditemani secangkir kopi instan adalah sebagian besar kegiatan gue hari ini. Tak ada yang lebih menyebalkan dibandingkan tak punya teman tidur, kecuali sebuah email yang nongol di layar PC gue tadi pagi. Setelah satu jam merasa bodoh dengan berdiam diri di depan PC, gue memutuskan pergi ke Muse.
Ini malam Kamis dan entah kenapa Kemang sudah seperti malam Minggu. Ini sudah jam sepuluh malam, seharusnya macet jam pulang kantor berakhir pukul delapan. But hey, ini Jakarta, kota paling enggak bisa diprediksi kondisi jalanannya. Muse malam itu terkesan lebih suram atau mungkin mata dan otak gue sedang tidak terlalu sinkron. Terletak di deretan tempat makan yang selalu terang benderang sampai pagi membuat Muse terlihat kelam. Nuansa rustic vintage mewarnai pintu masuk Muse dengan sedikit nuansa Halloween di bulan Oktober ini.
“Tumben lo udah nongol jam segini... and without any girls?”
Sarkasme Revan menyapa gue kemudian. Rupanya Muse memang sedang sepi pengunjung, jadi mata gue nggak salah-salah banget melihatnya. Muse di Kemang adalah bar pertama yang berhasil gue rintis bersama sahabat gue, Revan. Setahun setelahnya, kami membuka cabang Muse di daerah Sabang.
‘Kenapa harus sebuah bar? Bukan toko peralatan olahraga?’ Revan bertanya saat gue bilang rencana bikin bar di Kemang.
‘Karena gue butuh cewek. Jualan papan selancar nggak bikin cewek datang, Van.’
Jawab gue saat itu dan memang itulah niatan gue malam ini, mencari cewek yang bisa diajak one night stand. Revan nggak pernah mengomentari gue yang selalu bawa pulang cewek. Lelaki ber-tatto tengkorak penunggang kuda di lengan atasnya itu hanya sibuk melayani pelanggan, sambil sesekali pamer keahliannya mencampur minuman.
“Berisik lo.” Gue memesan air putih.
“Rambut belah pantat ayam, air putih, dan tanpa cewek. Lo nggak apa-apa kan?”
Revan mengumpat ketika gue mendaratkan sebagian isi gelas gue ke wajahnya. Kedua mata Revan yang sudah sipit dari lahir semakin membentuk garis lurus saat menatap gue.
“Fixed, lo lagi sakau!”
“Yes, I am. So please just be a good boy tonight and shut up your mouth!”
Lelaki itu mengambil botol vodka dari lemari di belakang meja bartender. “Lo butuh cewek dan vodka.”
“Lo diem aja gue terima kasih banget. Tumben cerewet banget sih lo malem ini!”
Revan akhirnya meminum sendiri vodka yang sudah terlanjur ia tuang. “Soalnya terakhir lo nggak jelas kayak gini, yang ada gue kena lemparan botol dan berakhir di rumah sakit dengan beberapa jahitan. Njing, gue kesel sendiri jadinya inget itu!”
Gue tergelak. “Kan gue sekali doang kayak gitu. Lo masih ambil hati aja sih!”
Revan masih bersungut-sungut dan meninggalkan gue untuk melayani pelanggan lain. Alunan EDM mulai mengisi otak gue, memberikan ketenangan luar biasa yang nggak gue temuin di apartemen. Memang bisnis ini pilihan tepat. Uang mengalir, cewek berhamburan, dan tentunya stress hilang.
Tiba-tiba gue teringat Irene. Damn Revan! Kenangan tentang Irene dan segala yang serba mendadak itu membuat gue ingin muntah. Gue merindukan Irene. Merindukan poni ratanya yang bergoyang lucu saat dia berlari, matanya yang hitam kecokelatan, wangi tubuhnya yang seperti cammomile, pertanyaan-pertanyaan bodoh yang selalu dia lontarkan, dan guyonannya yang sering bikin gue emosi.
“How bad I miss you...”
“Miss me?”
Gue tergagap dan hampir menyemburkan air yang gue minum. Di sebelah gue sudah duduk seorang cewek berambut pendek sebahu dengan senyum khas-nya. Eye-shadow silver berpadu dengan winged eye liner membuatnya tampak glamour malam itu. Tentu dress cocktail warna hitam yang dengan cuma - cuma memperlihatkan pahanya yang jenjang semakin membuatnya menawan.
“Eh, lo Ka!”
“I am.”
“Lagi nggak ada job?”