Once

Noura Publishing
Chapter #3

2

Agfa baru saja memarkirkan motor di carport saat suara deru mesin mobil dari samping rumah membuatnya kembali melangkah ke luar pagar. Dia melihat Salena dan Elya sedang membawa masing-masing satu koper berukuran besar dan me­ma­suk­kannya ke bagasi.

“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Agfa, membuat Salena dan Elya menoleh.

“Udah selesai. Enggak banyak yang dibawa,” jawab Salena.

“Eh, Fa? Tumben sore gini udah pulang?” sapa Elya yang baru saja selesai menutup bagasi mobil.

“Iya, Tante.” Jadwal lesnya hari ini tidak begitu banyak. Padahal, biasanya dia baru sampai di rumah pukul tujuh atau delapan malam jika jadwal les lebih dari tiga mata pelajaran.

“Aku berangkat.” Salena mengucapkannya dengan suara datar, seperti biasa. Tidak ada raut yang menunjukkan rasa sedih ataupun bahagia. Entah apa yang menjadi alasan Salena untuk tinggal bersama papanya.

Agfa mengangguk. Melangkah mundur saat Salena mem­buka pintu mobil.

“Dah, Agfa.” Elya melambaikan tangan sebelum menutup jendela mobil dan melajukan kendaraan itu menjauh dari tem­pat Agfa berdiri.

Agfa menurunkan tangannya setelah membalas lambaian Elya. Dia tetap berdiri di sana, menatap mobil putih yang se­makin lama terlihat semakin kecil itu.

Salena hanya pindah ke Jakarta Pusat, kawasan Cempaka Pu­tih. Jarak rumah mereka sekarang sebatas Tebet-Cempaka Putih saja, Jakarta Selatan-Jakarta Pusat. Mereka bahkan masih berada di satu sekolah yang sama. Karena itulah tidak ada ritual perpisahan yang berlebihan di antara mereka, meski—mungkin—hubungan mereka bisa dikatakan sangat dekat.

Tidak banyak waktu yang biasa mereka habiskan bersama setiap hari layaknya sahabat. Juga tidak pernah berangkat bersama ke sekolah hanya karena rumah mereka berdampingan. Setiap pa­gi, Agfa naik motor ke sekolah, sedangkan Salena, jika tidak dian­tar mamanya, dia akan naik angkutan umum atau ojek online. Mereka memang tidak selalu bersama-sama, tetapi tidak pernah lupa bertukar cerita tentang apa yang mereka alami setiap harinya.

Agfa mengenal Salena sejak tujuh tahun yang lalu. Ketika dia dan keluarganya pindah ke rumah baru yang berada tepat di samping rumah Salena. Saat itu, usianya masih sepuluh tahun. Dia tidak berusaha mencari teman ataupun sahabat di ling­kungan barunya karena, sejak meninggalkan rumah lama, dia memu­tuskan untuk tidak lagi memiliki sahabat. Tidak lagi. Dia hanya ingin fokus terhadap dirinya sendiri. Hidup hanya untuk diri­nya sendiri.

Namun, saat itu Agfa menemukan seorang anak perempuan berdiri di sisi jalan di samping rumahnya. Satu tangannya me­megang balon berwarna hijau sembari menatap sebuah mobil yang menjauh dengan mata nyalang. Agfa menghampirinya. Dia kemudian tahu bahwa anak perempuan itu bernama Salena, yang baru saja mengantarkan ayahnya pergi dari rumah. Orangtuanya resmi bercerai.

Lama Agfa memperhatikan mata Salena yang berdiri di hadapannya. Jika yang baru saja dilepasnya adalah seorang ayah, Agfa pikir seharusnya Salena terlihat sedih, menangis seperti yang dilakukan anak perempuan kebanyakan. Namun, tidak, sorot mata Salena tidak menunjukkan apa-apa. Entah dia memang tidak sedih atau mungkin malah sudah lelah bersedih.

Sejak saat itu, Agfa merasa bahwa mereka ... sama.

Ketika mobil Elya sudah lenyap dari pandangan, Agfa memutuskan masuk ke rumahnya sendiri, menghirup kembali udara di dalam rumah yang tidak begitu disukainya.

Langkahnya terayun cepat melewati ruang tamu dan berhen­ti di ruang keluarga saat sebuah potongan lego berwarna kuning melayang dan menabrak samping kakinya. Agfa menoleh ke arah karpet di depan TV. Ada Bima yang sedang duduk di sana sambil menyengir ke arahnya.

Bima bertepuk tangan, berkali-kali, sambil berkata, “A ... fa. A ... fa.” Agfa. Agfa.

Lihat selengkapnya