Sorot matanya masih senduh seperti dulu. Bibir tipisnya masih tetap tinggal di sana, membentuk senyuman yang paling tulus. Di mataku, ia masih tetap sama.
“Gimana kabarmu? Sekarang kerja dimana?”
Aku memberanikan diri untuk bertanya setelah tiga tahun lamanya aku menepikan raga ini darinya. Ia tersenyum, dan ya. Senyuman itulah yang menjadi awal dari lahirnya kupu-kupu di dalam diriku.
“Baik, Jen. Kamu sendiri? Masih di tempat yang sama. Kamu kemana aja selama ini?”
Kamu kemana aja selama ini? Pertanyaan itu, aku sungguh berharap ada lanjutan dari kisah Romeo dan Juliet imitasi ini.
“Aku baru pulang dari Australia, Ed,” jawabku apa adanya.
Eddy menatapku dengan tak percaya. “Seriusan?”
“Jadi kamu beneran ke sana? Ngga heran kamu maksa minta pisah ya,” candanya yang terdengar begitu menusuk gendang telingaku.
Aku menelan kegugupanku dengan menarik jari-jariku di balik sweater. Kututupi air mataku yang hampir jatuh dengan tawa.
“Ya gitu deh, kamu udah nemu yang baru harusnya,” ucapku basa-basi.
Deg!
Raut wajahnya berubah. Senyumnya memudar, garis halus dari alisnya menyatu dan mulutnya merapat.
“Andai kamu tahu apa yang aku alami setelah kehilangan kamu, Jen.”
Aku tahu pasti apa yang kamu alami, Eddy. Aku tahu.
***
Tiga tahun yang lalu
Ini sudah kelima belas kalinya kami memutar film ini. Film animasi kesukaan kami, Lion King. Kisah Simba, putra mahkota dari Raja Mufasa dengan konflik keluarga yang begitu mencekam pikiran kita. Ya, hanyalah fiksi, namun terasa begitu nyata ketika imajinasiku menyantapnya.
“Kayak anak kecil kalian berdua, tontonannya kayak anak-anak,” ujar Febry ketika Lion King hampir menyentuh tahap penyelesaian.
Aku dan Eddy masih sibuk dengan layar laptop dengan saksama, mengabaikan Febry.
“Ed, lain kali nonton yang lain ya. Bosen juga nonton beginian mulu,” rengekku pada Eddy yang tengah memangku kepalanya di atas pahaku.
Eddy menggelengkan kepalanya. “Gini loh, Jen.” Eddy tiba-tiba beranjak dari pangkuanku dan menatapku erat.
“Apa?” sontak aku bertanya.
“Film yang berulang-ulang kamu nonton, padahal cuma seminggu sekali bisa bikin kamu bosen.”
“Terus?”
“Gimana dengan aku?”
Aku menatapnya dengan hati-hati. “Maksud kamu, Ed?”
“Kamu ketemuan sama aku tiap hari begini ngga bosen?”
Aku tertawa, sedikit tergelitik dengan pertanyaannya. Melihat reaksiku, Eddy mulai menatapku dengan serius.
“Aku serius, Jen. Kamu yakin ngga bakal bosen sama aku?”
Aku menggeleng. Kutangkup kedua pipinya dan mengecup pipinya sekilas.
“Aku ngga pinter gombal, Ed.”
Eddy menarik napas panjang. “Jujur, Jen.”
“Aku sayang sama kamu, Jen.”
Sumpah, Eddy kenapa hari ini?
“Kita udah pacaran lama kan, Ed? 5 tahun udah lumayan lama buat aku.”
Kali ini Eddy nampak kecewa.
“Ed?”
“Aku takut.”
Aku menarik Eddy dan merangkulnya erat. “Aku sayang sama kamu, Ed. Banget. Kalo aku bosen, udah lama aku ninggalin kamu, Ed.”
***
Seminggu kemudian
“Ternyata ini kelakuanmu selama ini! Beli rumah sendiri, ngelarang orang tua sering-sering ke rumah, supaya bisa kumpul kebo sama cowok ngga punya masa depan kayak dia?”
Aku mengurungkan niatku untuk menjawab bentakan papa, karena semua yang papa katakan itu benar,
“Mama ngga nyangka kamu gedenya kayak gini, Jen. Apa kata orang tentang kami sebagai orang tuamu?”
Kudengar isakan mama sekilas.
“Dari kuliah sampai sekarang, kelakuanmu itu memang benar-benar biadab! Keluar, anak sialan! Kamu cuma bisa jadi aib di rumah ini! Buat malu keluarga saja! Keluar, anak kurang ajar!”
Aku tak berani menatap wajah mereka, karena memang akulah yang salah.
“Aku mau ke Australia, Ma.”
Mama tidak menjawab.
“Mau kamu ke Australia atau kemana, bukan urusan mama sama papa lagi. Sekalipun kamu mati, itu lebih baik.”
Deg! Sakit tapi tak berdarah, apakah ini rasanya? Kutepikan tubuhku dari mereka dan mengangkat wajahku.
“Jenny memang anak biadab. Cara Jenny salah. Harusnya Jenny berusaha buat mama sama papa suka sama Eddy. Meskipun Eddy beda dari kita. Tapi dia tetap manusia, pa. Eddy-.”