One & Zero

it's her.
Chapter #2

Bab II - Masih Samar

           Aku masih berusaha menyibukkan diriku di hadapan laptop. Berusaha membuang jauh pikiran mengenai penggantiku, maksudku- pendamping baru Eddy. Apa yang harus aku lakukan? Apakah bertanya merupakan satu-satunya jalan terbaik untuk menyelesaikan kegelisahanku?

           “Hei!”

           Suara yang tak asing di gendang telingaku, kembali membuang jauh lamunanku. Aku memutar batang leherku untuk mendapatkannya.

           “Sudah makan siang?” tanya pria itu.

           Aku menggeleng lemas.

           “Nasi hangat dilumuri kuah rendang, ayam goreng lengkuas, tempe goreng, ikan bakar, mau semua atau yang lain?”

           “Kolesterolku nanti nambah loh, Ed,” ujarku lemas.

           “Ah, masa sih? Perasaan bugar begitu, mana mungkin kolesterol.”

           “Sok tau deh.”

           Eddy tampak mencari-cari cara untuk berhasil dalam merayuku persoalan makan siang. Sungguh, sejujurnya aku tak ingin makan siang. Maksudku, makan siang dengan mantan kekasihku ini. Entah mengapa, rasanya janggal untuk berada di sekitar pria yang sudah beristri. Ya, mungkin itu hanya terkaan belaka. Tapi postingan itu sudah berhasil mematahkan hatiku, yang masih mengharapkannya.

           “Oke, sup buntut?”

           Aku menggeleng kembali.

           “Hm, ayam goreng mentega?”

           Aku menggangguk mantap. “Buatan kamu.”

           Pria itu tertawa, hampir memenuhi seluruh ruangan. “Gila ya kamu. Lagi ngantor malah nyuruh orang masak.”

           Aku menjawab tak kalah heboh. “Lah situ yang nawarin makan siang, harus siap menderita dong. Lagipula dimana lagi yang jual ayam goreng mentega, dan bisa seenak punya kamu.”

           Ah, lupakan persoalan istri. Aku sudah rindu ayam mentega buatannya.

           “Oke, oke, aku nyerah. Gini aja, kita makan aja yang ada di sekitar sini dulu. Besok baru aku masakkin. Gimana?”

           Aku sempat membayangkan kembali cita rasa yang selalu ia hidangkan untukku. Dan cita rasa yang selalu aku dambakan, cinta.

           Tidak!

           Aku harus membuang jauh pikiran itu.

           “Ga deh, Ed. Nanti ada yang marah,” cebikku. Tiba-tiba pikiranku melayang ke arah ingatan mengenai foto yang kulihat kemarin bersama sahabatku.

           Eddy tampak bingung, bukan ekspresi terkejut yang kubayangkan.

           “Siapa juga yang bakal marah. Ah, udah ah. Keburu habis jam makan siangmu nanti.”

           Aku tertawa dan mengiyakannya. Aku berharap makan siang ini bisa kuperpanjang, bila perlu tak berhenti selamanya. Aku begitu merindukan perbincangan panjang bersama Eddy saat kami menyantap makanan kami, baik itu sarapan, makan siang, makan malam, atau makan-makan yang lainnya.

           Oh, kami memutuskan untuk melahap Kentucky Fried Chicken. Pilihan terakhir ketika kami lelah berdebat perihal makanan yang harus kami santap.

 

 

***

 

           “Itu yang tadi siapanya kamu, Mbak?” tanya Mas Andre tanpa permisi, membuatku terbangun dari lamunanku, lagi.

           Aku hanya tersenyum. “Bukan siapa-siapa, Mas.”

           Mas Andre masih belum menyerah dan terus menatapku penasaran.

           “Tapi nampak banget bedanya.”

           Aku kembali tersenyum. “Deket maksudnya? Aku deket dengan semua orang kok.”

           Mas Andre membalas senyumku. “Ya udah, kerja lagi aja deh.”

           Kularikan kedua mataku kembali fokus di atas papan ketikku. Aku baru sadar, banyak tugas yang harus aku selesaikan hari ini. Terlalu banyak yang harus aku perhatikan selain perasaanku. Perasaan itu akan memakan tenagaku hingga aku tak mampu fokus untuk bekerja.

           Ya, aku sudah bekerja. Aku lupa menjelaskannya. Setelah selesai menjelajahi negara kangguru itu, aku kembali ke Indonesia untuk membuktikan bahwa aku bisa lebih dari yang dulu. Orangtuaku mungkin belum bisa menerimaku kembali saat ini, atau aku yang belum siap kembali pada mereka.

           Tapi aku akan membuktikan bahwa aku memang pantas untuk menjadi yang terbaik bagi mereka. Karena mereka hanya punya aku, anak tunggal mereka. Aku berharap masih ada yang tersisa, seperti Eddy yang selalu mendukungku.

           Berhenti. Aku harus fokus mengerjakan tugasku kembali. Laptop ini sudah menunggu untuk kuberi baku hantam sampai dini hari.

 

***

 

           Berkutat terlalu lama, sampai aku lupa bahwa aku harus menyelesaikan tujuanku untuk membuat cheesecake. Oh Tuhan, aku begitu menginginkannya!

           Kualihkan perhatianku dari laptop yang sedari tadi kukencani. handphone yang sedari tadi menganggur membuatku prihatin. Aku terlalu lama mengabaikan hal lain ketika aku menetapkan diriku untuk fokus mengerjakan sesuatu, terutama ketika aku harus segera menyelesaikannya.

           Astaga!

           Eddy memberiku spam yang begitu banyak. Hal yang dulu sering ia lakukan. Aku menyadari satu pesan yang selalu ia kirim padaku.

Lihat selengkapnya