Akibat hari ini ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan sang putri, Dimas tidak menyiapkan segala halnya dengan detail. Contoh kecil saat ini keinginan untuk buang air kecil sudah tak bisa ia tahan. Ia pun berlari pelan sambil menggendong Aruna untuk membawanya ke toilet.
“Papa, Aruna tidak mau masuk. Itu isinya untuk laki-laki saja.” Ujar Aruna yang sudah bisa membedakan toilet pria dan wanita. Dan tentu saja anak itu tidak mau masuk ke dalam.
“Tapi papa gak bisa ninggalin Aruna sayang. Aruna tutup mata saja oke?” Balas Dimas.
“No papa, Aruna tidak mau. Aruna tunggu di depan pintu saja.” Jawab Aruna tetap teguh pada pendiriannya tak ingin masuk ke toilet laki-laki.
Dimas menghela nafas pelan antara ingin cepat-cepat ke toilet namun tak tega meninggalkan anaknya sendirian.
“Oke, tapi jangan kemana-mana ya. Tunggu papa di sini.” Ujar Dimas mengingatkan anaknya. Aruna hanya membalas dengan anggukan lalu memeluk boneka kelinci yang baru dibelikan Dimas untuk menemani Kinci di rumah.
Dimas tak memikirkan hal sekecil ini. Biasanya dulu jika keluar dengan Aruna selalu bersama mantan istri atau dengan ibu dan kakaknya. Jadi ia tak tahu resiko jika hanya pergi berdua namun di saat-saat seperti ini tidak semua anak perempuan ingin di ajak masuk ke dalam toilet laki-laki. Ia pun melupakan adanya tempat penitipan anak yang sudah di sediakan pihak mall. Memang jika sudah berurusan dengan pencernaan, otak Dimas tak dapat berpikir cepat.
Sepeninggal ayahnya yang masuk ke dalam toilet, Aruna sambil menggendong boneka kelincinya melihat orang berlalu lalang. Atensinya tertuju pada seorang anak yang membawa gulali berbentuk kepala kelinci. Kakinya lalu mengejar anak tersebut berniat ingin bertanya gulali tersebut beli dimana. Namun banyaknya pengunjung yang di dominasi orang dewasa membuat Aruna kesulitan mengejar anak yang membawa gulali itu. Hingga dirinya tersungkur dan akhirnya di bantu oleh seseorang dari dalam klinik.
Lega, satu kata yang menggambarkan perasaan Dimas saat ini. Ia pun berjalan keluar namun bola matanya membulat lebar saat tidak mendapati Aruna didepan pintu toilet pria. Dengan cepat ia berusaha mencari Aruna namun tak menemukan dimana anaknya itu berada. Selang 30 menit mengitari mall bahkan bertanya pada pengunjung lain, terdengar pengumuman dari speaker mall tentang anak hilang. Ia segera berlari ke tempat dimana yang telah di infokan.
Lega untuk yang kedua kali saat Dimas mendapati Aruna disana bersama dengan seorang wanita. Tolong ingatkan Dimas untuk jangan terlalu banyak bekerja. Bahkan mencari Aruna saja ia tidak terpikir untuk datang ke customer service mall meminta bantuan.
~
Dini membuka pintu klinik dan mengambil gelasnya untuk minum. Ia masih terbayang suara Aruna yang memanggilnya dengan sebutan mama. “Kemana mamanya Aruna? Kenapa Aruna sesedih itu saat memanggilnya mama?” Pertanyaan itu terus yang berputar di kepala Dini.
“Kak, udah ketemu sama papanya anak tadi?” Tanya Nita yang membuyarkan lamunan Dini.
“Udah Nit.” Jawab Dini.
“Gimana kak? Ganteng gak? Anaknya cantik banget gitu pasti papanya ganteng. Sama istrinya gak dia kak?” Tanya Nita lagi seperti menginterogasi Dini.
“Emang kalo gak sama istrinya kenapa?” Ucap Dini balik bertanya.
“Ya bisa kali kak aku maju gitu ya. Gak apa-apa deh kalo anaknya kaya Aruna. Ikhlas aku sama duda.” Nita berucap sambil berangan-angan kejadian di novel fiksinya terjadi di kehidupan nyata.
“Istighfar.” Jawab Dini mengingatkan agar Nita kembali ke realita dan jangan terlalu banyak berharap.
“Ih ganggu kamu kak, orang lagi ngayal kan. Mumpung gratis.”
“Bodo amat.” Jawab Dini kemudian meninggalkan Nita yang masih membayangkan bagaimana menikah dengan duda anak satu.