Dimas pulang lebih cepat hari ini. Sejak kedatangan Alissa kala itu, Dimas sebisa mungkin menghabiskan waktu bersama kedua anaknya lebih lama. Terutama Aruna. Ia juga selalu di titipi pesan oleh Dini untuk lebih banyak interaksi walaupun hal-hal kecil pada Aruna.
Cukup terkejut karena saat ia sampai, di ruang keluarga sudah lengkap kedua orangtuanya, Asya dan juga Aryo, kakak ipar Dimas.
“Tumben. Anak-anak mana ma?” Tanya Dimas setelah mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
“Diatas main sama Nara. Duduk dulu Dimas.” Ucap ibunya.
Dimas mendaratkan bokongnya di sofa samping Aryo duduk. “Ada apa?” Tanya Dimas.
“To the point aja ya ma. Dim, lo pacaran sama Dini?” Asya yang sudah tak bisa menahan akhirnya bertanya pada Dimas.
“Hah? Engga. Siapa yang pacaran.” Jawab Dimas dengan bingung.
“Terus ini apa?” Kali ini ibu Dimas yang bersuara menunjukkan ponselnya dimana terlihat dirinya sedang memeluk Dini dari belakang saat wanita itu sedang mencuci piring.
“Oh itu. Simulasi kalo nanti udah nikah ma.” Jawab Dimas dengan enteng.
Melihat sang ibu mertua ingin murka, Aryo sebagai laki-laki disana menengahi. Berbeda dengan ayah Dimas yang hanya jadi penonton saja. Sebenarnya mereka sudah membahas ini sebelum Dimas pulang. Menurutnya wajar karena bagaimana pun ia merasa anaknya sedang jatuh cinta paska bercerai dengan mantan istrinya. Dan Dini sangat masuk kriteria calon istri yang baik. Memang istri dan anak perempuannya saja yang terlalu banyak pusing. Mereka masih menganggap Dimas itu masih kecil padahal umur sudah mau kepala lima.
“Ma, sabar dulu. Dim gini, gue gak ngelarang lo mau deketin siapa. Tapi yang di permasalahin mama sama Asya itu, kalo lo gak punya hubungan. Kenapa seintens itu sama Dini.” Ujar Aryo menjelaskan.
“Kita tau soal Alissa kesini. Dan lo dengan entengnya cium dia sembarangan. I mean, Dim jangan kasih harapan anak orang kalo cuma mau jadi ajang bales dendam lo doang ke Alissa.” Kata Aryo kembali.
“Ibu Sri sebenarnya yang gaji dia siapa sih? Mama pasti ngasih lebihan kan ke dia. Buat mata-matain Dimas?” Tanpa ditanya pun Dimas tahu, siapa yang melaporkan ini semua.
“Gue gak main-main sama Dini kak. Terserah kalian mau percaya apa engga. I love her. Dan itu gue gak sembarangan cium dia. Gue gak pernah berpikir jadiin dia buat jadi balas dendam ke Alissa. And that’s not our first kiss.” Tegas Dimas menjawab semua ucapan Aryo.
“Ma,pa, Dimas minta doanya. Dimas mau deketin Dini, udah bilang juga ke dia buat gak tutup hati buat Dimas. Karena Dimas mau masuk. Dimas mau nikahin Dini kalo dia udah sayang ke Dimas juga.” Ujar Dimas pada kedua orangtuanya.
“Doa papa sama mama selalu buat kalian nak. Dim, papa dukung kamu. Papa cuma minta satu hal, jaga batasan ya. Kamu punya kakak perempuan dan juga mama dan tentu kamu punya Aruna. Jaga Dini kaya kamu jaga mereka. Hormatin Dini sebagaimana kamu hormatin mereka sebagai perempuan.” Ucap papa Dimas menasihati anaknya.
“Iya pah.” Jawab Dimas.
“Lo deketin Dini emangnya dia gak punya pacar Dim?” Tanya Asya penasaran.
“Gak tau kak. Gue cuma tau dua sahabat cowonya doang. Dini juga jarang cerita apa-apa.” Jawab Dimas yang seakan tak peduli Dini memiliki pacar atau tidak. Yang jelas Dimas tetap pada tujuannya.
“Make her comfort ada disekitar lo Dim. Ya lo liat aja gue sama Asya. Dari sahabat jadi nikah kan. Bukannya nakutin, lo yang berapa bulan sama mereka yang udah belasan tahun. Lo gak ada apa-apanya.” Kali ini Aryo kembali buka suara.
“Iya kak. Gue keliatan banget kaya puber kedua ya?” Tanya Dimas sambil terkekeh pelan.
“Banget. Kaya anak gadis lagi jatuh cinta lo.” Balas Asya yang kadang tak habis pikir dengan tingkah Dimas.
“Yaudah Dimas naik ya. Kangen anak-anak.” Ucap Dimas lalu meninggalkan ke empat orang tersebut.
~
Di lain tempat Dini tengah berada di rumah keduanya. Sebut saja sebagai toko buku. Ya kini ia sedang berada di toko buku, tempat favoritnya sejak masa SMA. Entah kenapa menurutnya wangi buku dan suasananya sangat membuat nyaman. Bahkan ia bisa menghabiskan 4 jam hanya dengan berkeliling di toko buku.
Tiga buku sudah di genggamannya. Ia sebenarnya masih ingin berlama-lama disini, namun rasa ingin bertemu dengan anak-anak juga tak kalah. Langkahnya terhenti saat seseorang menepuk pundaknya.
“Andinia bukan?” Tanya seorang laki-laki dengan hidung bangirnya.
“Ah iya. Maaf, siapa ya?” Tanya Dini. Awalnya ia ragu untuk menoleh, secara di kepalanya saat ini berpikir yang namanya Andinia bukan dia seorang.
“Bener, gak berubah kamu ya dari zaman sekolah. Beneran gak inget sama aku?” Ucap laki-laki itu lagi.
Ya tuhan, inilah penyakit Dini. Yang baru berbincang dengannya 30 menit lalu saja ia lupa wajahnya seperti apa. Apalagi ini, seseorang dimasa lalunya entah teman atau pria yang dekat dengannya yang mungkin tak terlalu akrab, jangan harap wajah mereka akan terukir di ingatan Dini.
“Mukanya gak asing, tapi aku lupa nama. Takut salah sebut. Maafin.” Ucap Dini sambil menyatukan kedua tangannya tanda meminta maaf.
“Hahaha, iya santai aja. Mungkin kamu bakal inget kalo kita dulu pacaran. Tapi sayangnya Ardi yang dapetin kamu.” Balas pria itu dengan tertawa sekaligus gemas dengan tingkah Dini.