Seminggu berlalu mereka tak bertemu. Dimas masih dengan egonya. Dan Dini yang tiga hari awal masih mencoba menjelaskan pada laki-laki itu namun tak kunjung dapat kesempatan. Belum lagi rasa rindunya pada Aruna dan Arjuna membuat Dini seminggu ini lebih banyak diam. Saat ini berkumpul dengan teman-temannya pun Dini masih diam hanya menatap ke arah luar jendela cafe.
“Din.” Panggil Ita dengan lembut. Sudah segala cara ia dan kedua sahabat laki-lakinya lakukan untuk menghibur Dini. Namun wanita itu masih diam tak bersuara.
“Mau kesana? Kita di dalem mobil aja kalo lo gak bisa masuk kerumahnya.” Ajak Nico. Namun bukan jawaban yang Nico dapat, Dini sontak menangis saat ini.
“Hey Din…” seru ketiganya cukup terkejut dan Ita langsung memeluk Dini.
“Gue kangen anak-anak Ta.” Keluh Dini dalam tangisnya.
“Iya gue paham kok. Sabar sedikit ya, kasih waktu Pak Adimas kontrol emosinya juga. Biar gak kena lo lagi.” Jawab Ita sambil mengelus punggung Dini.
Di lain tempat, kondisi Dimas tak jauh berbeda. Seperti tidak terawat sama sekali. Kantung matanya, bahkan ia bisa mengenakan kemeja yang sama dua hari berturut-turut. Belum lagi ia harus mendengar tangisan dan rengekan Aruna dan Arjuna yang sudah hampir seminggu ini hanya meminta bertemu dengan Dini. Demi menjaga kewarasannya, Dimas selama tiga hari belakangan ini memilih untuk tinggal di apartemennya. Beruntung Asya menginap dirumah serta membawa sang anak untuk menemani Aruna dan Arjuna.
Dimas kira pikirannya akan sedikit segar jika pergi menjauh, namun bayang-bayang Dini tak pernah lepas dari pikirannya.
~
Langkah Dini terhenti saat mendapati seorang wanita yang ia kenal dengan baik. Namun bukan wanita tersebut yang menjadi atensinya, kedua anak yang bersamanya justru yang menjadi pusat perhatian Dini. Dengan mata berkaca-kaca, Dini yang kini hanya bisa menatap tersenyum tipis saat mengetahui keadaan kedua anak itu dalam keadaan baik-baik saja. Walaupun di hati kecilnya, ia ingin menghampiri, memeluk dan mencium kedua anak tersebut.
“Dini.” Suara seorang pria menginterupsi lamunannya.
“Kak Aryo.” Sapa balik Dini pada pria ini.
“Mau ketemu? Gak ada Dimas kok.” Ujar Aryo yang sepertinya paham tanpa Dini berkata.
“Takut ganggu kak.” Balas Dini kemudian menoleh lagi memperhatian Aruna dan Arjuna dari jauh.
“Mana ada. Kamu gak tau udah empat hari ini mereka sama Asya terus. Nangis nyariin mamanya.” Ungkap Aryo yang membuat hati Dini merasa teriris mendengarnya.
Aryo melambaikan tangan ke arah Asya untuk melihat siapa yang ada di sampingnya. Dengan senyum tulus, Asya memanggil Dini dengan tangannya. Mengisyaratkan untuk bergabung.
Tangannya seketika gemetar saat sudah berada di belakang Aruna persis. Entah apa yang ia rasakan. Dini tak bisa lagi membendung rasa rindunya.
“Aruna.” Panggil Dini dengan suara sedikit gemetar. Sang empunya nama menoleh lalu melompat dari kursi. Keduanya berpelukan dengan Dini yang tak henti memberikan ciuman di wajah Aruna.
“Maafin mama sayang. Maafin mama.” Ucap Dini. Belum lagi Arjuna yang sudah melihat Dini seketika menangis ingin bersama Dini juga. Setelah dengan Aruna, Dini langsung menggendong Arjuna dan melakukan hal yang sama.
“Mama jangan pergi dari Aruna. Aruna kangen mama.” Ucap Aruna sambil menangis.
Kegiatan mereka terhenti saat terdengar suara seorang pria yang sangat Dini hafal.
Melihat ayahnya datang, Aruna langsung bersembunyi di belakang Dini. Arjuna yang berada di gendongan Dini juga enggan melepaskan wanita itu.
“Better kalian selesaiin dulu masalah kalian. Jangan egois, gak liat anak-anak yang kena imbasnya.” Ujar Asya pada keduanya.
“Aruna sama uncle dulu yuk. Mama sama papa mau ngobrol.” Ajak Aryo dan begitu juga Asya mengambil Arjuna di gendongan Dini.
“Selesaiin dengan kepala dingin. Jangan sampai akhirnya kalian malah nyesel sama keputusan kalian.” Aryo berucap sebelum akhirnya melangkah keluar bersama Aruna dan Nara anaknya.
Dini dan Dimas masih terdiam padahal kini keduanya duduk berhadapan di kursi yang tadi ditempati oleh Aryo dan Asya. Ada rasa sedih di hati Dini melihat Dimas sekarang seperti tidak terurus. Dimas lelah, ia memilih untuk berdiri dan meninggalkan Dini disana. Namun langkahnya terhenti saat ada tangan yang melingkar di pinggangnya.