Tak ingin terjadi keributan di acara ulang tahun sang putri. Dimas meminta bantuan ibunya untuk mengurus Dirga dan sang ibu. Kini dirinya tengah bersama Dini di halaman belakang rumahnya. Ia masih belum melepaskan pelukannya pada Dini. Walaupun tak terdengar. Ia tahu jika Dini masih dalam keadaan menangis. Ia merasakan kemejanya basah. Dengan tak mengeluarkan suara apapun, Dimas mengelus pelan punggung Dini. Ia tak ingin banyak bicara dulu saat ini, membiarkan Dini meluapkan segala emosinya.
Perlahan pelukan Dini mengendur dan ia menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Udah enakan?” Tanya Dimas dengan sesekali membantu Dini menghapus jejak air mata wanita itu.
Dini menatap Dimas dengan senyum yang ia paksakan seakan memberitahu jika dirinya baik-baik saja.
“Makasih pak.” Ucap Dini.
“Iya sama-sama. Mau minum?” Tanya Dimas kembali.
“Mau ke anak-anak aja pak. Gak enak udah ninggalin Aruna lama.” Jawab Dini.
“No, jangan sama anak-anak dulu. Nanti aku di interogasi kenapa mata mamanya jadi bengkak. Tenangin diri kamu dulu ya.” Kata Dimas.
Dimas mengeluarkan ponselnya untuk menyuruh salah satu asisten rumah tangganya agar membawa minum ke halaman belakang. Sebenarnya ia bisa masuk dulu ke dalam rumah. Namun dirinya enggan meninggalkan Dini seorang diri.
~
Semenjak kejadian di hari ulang tahun Aruna, Dini jadi lebih pendiam. Ia juga terus di terror lewat telpon atau chat dari nomor yang berbeda. Dini tahu itu Dirga, sebanyak apapun Dini memblokir kontaknya, pria itu punya 1001 cara untuk terus menghubunginya.
Dimas pun menyadari perubahan diri Dini. Saat datang kerumah untuk anak-anaknya saja, fisiknya memang disana, namun fikirannya entah kemana. Dimas berencana akan meluangkan waktu satu hari saat Dini libur untuk mengajak wanita itu refreshing.
“Sayang, besok ke kantor aku ya. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” Dini membaca pesan yang masuk ke ponselnya dan hanya membalas dengan kata iya.
Bukan hanya Dimas, ketiga teman Dini yang lain pun mengetahui soal ini. Nico yang paling marah saat mengetahui kembalinya Dirga. Jika saja dulu Dini tak menahannya, mungkin Nico akan menjadi tahanan penjara sekarang. Pria itu ingin sekali menghabisi Dirga dengan tangannya sendiri.
Esoknya Dini sudah rapi menggunakan jeans hitam, kaos polo crop berwarna hitam juga dengan slingbag dan sneakers berwarna putih. Baru saja ia ingin memesan taksi online untuk menuju kantor Dimas. Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumahnya.
“Selamat siang mba, saya diminta jemput mba oleh Pak Adimas.” Seorang pria keluar dari mobil tersebut dan menyapa Dini dengan sopan. Dini tentu tahu siapa laki-laki ini. Namun lupa siapa namanya. Antara sekretaris atau asisten Dimas.
“Ah iya, terima kasih.” Balas Dini dengan sopan lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di bukakan oleh pria itu.
Selama perjalanan terasa sunyi karena keduanya bungkam. Dini yang fokus dengan pikirannya, dan Robby sekretaris Dimas juga diam karena ia hanya menjalankan tugasnya. Beberapa bulan ini Dimas menjadi perbincangan antara Robby dan Rabin. Biasanya mereka cuek dengan segala hal yang terjadi pada hidup Dimas, namun semenjak mendeklarasikan dirinya jatuh cinta pada Dini ada saja hal konyol yang Dimas lakukan. Bahkan sampai pekerjaan mereka yang jadi korbannya. Seperti pagi ini, Robby di beri pekerjaan segunung oleh Dimas. Namun pria itu juga meminta Robby untuk menjemput Dini. Padahal sudah ada supir pribadi kantornya yang bisa ia suruh. Namun Dimas tidak mau dan tetap mau Robby yang menjemput Dini.
“Maaf mas…” ucap Dini menggantung.
“Robby mba, nama saya Robby.” Balas Robby saat mendengar Dini.
“Ah iya mas Robby, boleh minta tolong mampir ke kedai makan itu dulu? Mau beliin makan buat Pak Adimas. Belum makan kan dia?” Tanya Dini.
“Pak Adimas bilang gak mau makan mba. Soalnya kan mau ajak mba keluar. Tadi pagi sudah dipesenin makan tapi dia kasih OB kantor.” Jawab Robby menjelaskan.
“Oh.. iyauda mas. Mampir aja gak apa-apa. Saya mau beli sesuatu.” Ucap Dini akhirnya.
Setelah dari kedai makan, Dini membawa satu plastik berisi 2 porsi paket lengkap nasi.