Mencoba cuek namun telinga keduanya tak mengelak jika selama mereka didalam mall, banyak bisik-bisik untuk keduanya. Walaupun di jaman sekarang beberapa menganggap hal lumrah istilah “Sugar Daddy” dan “Sugar Baby” namun tetap saja bisikan itu membuat sang wanita sesekali melirik dengan tatapan juteknya.
Bagaimana tidak, dari penampilan mereka hari ini saja pasti pemikiran pertama orang adalah sedang jalan ayah dan anak remajanya. Dimas masih menggunakan pakaian khas kantornya dan menggunakan jas. Dini dengan pakaian casualnya yang terlihat pakaian memang untuk jalan-jalan.
“Sibuk banget sih orang ih. Emang kenapa kalo gue jalan ama om-om tua hah? Emang ngeluarin duit lo pada.” Dimas menoleh mendengar Dini mengeluh dengan wajah kesalnya.
“Sabar. Ngedumel aja. Gak usah dengerin orang. Iri kali tuh mereka gak dapet sugar daddy kaya aku.” Balas Dimas dengan candaan.
“Jadi kamu mau jadi sugar daddy?!” Dini sontak menatap ke arah Dimas dengan level kesalnya sudah meningkat.
“Eh? Gak gitu sayang. Intinya mereka iri sama kamu. Udah itu aja.” Jawab Dimas hampir panik saat Dini ingin mengamuk. Ia lalu menarik tangan Dini masuk ke dalam salah satu store jam tangan.
“Sayang, beli barang couple mau?” Tanya Dimas sambil matanya melihat ke jejeran jam tangan yang berasa di etalase. Membujuk wanita dengan berbelanja biasanya ampuh bukan. Ia tak peduli jika dibilang masa pubernya kembali. Memang selama dengan mantan-mantannya dulu ia enggan membeli hal-hal yang serupa ini.
Menoleh ke kanan dan kiri ikut melihat jam. Tak lama Dini tersadar saat melihat nama merk store yang mereka datangi.
“Gila, ini satu jam bisa buat beli rumah di kawasan elite.” Batinnya.
“Mas..” Dini memanggil Dimas dengan bisikan.
“Kenapa? Kamu mau yang mana?” Tanya Dimas menghampiri Dini.
“Beli yang lain aja yuk. Aku lagi gak butuh jam kok. Jam aku masih bagus.” Jawabnya dengan nada kecil takut karyawan toko mendengar.
“Iya gak apa-apa beli aja lagi kita samaan.” Ucap Dimas dengan santai.
Kepala Dini terasa gatal mendengar Dimas. Bukan masalah barang couplenya. Lihatlah harga jam tersebut. Dini lebih memilih berangkat haji dari pada membeli jam dengan harga selangit ini.
“Hm.. bukan gitu mas. Ini satu aja mahal banget. Kalo beli dua mending aku mandi uang aja.” Ucap Dini berusaha membujuk Dimas agar tak beli.
“Gak apa-apa sayang. Toh aku beli ini buat kita. Harga gak masalah.” Balas Dimas.
“Ini orang duitnya berapa sih ya tuhan. Mau beli gak liat-liat harga. Kapan gue begitu.” Batin Dini berkeluh kesah.
“Beli sepatu aja gimana mas?” Tawar Dini kembali. Jika sepatu, Dini bisa mengajak Dimas ke toko sepatu yang harganya masih ramah di kantongnya. Jadi tak perlu mengeluarkan uang sampai nominal 0 nya ada 9 digit.
“Beli jam sama sepatu juga yah. Samaan kita.” Ujar Dimas dengan enteng dan sontak membuat bola mata Dini membulat.
Mendengar Dimas yang lama sekali pekanya, Dini langsung menarik Dimas keluar. Sebetulnya Dimas paham maksud Dini, tapi lelaki ini tetap ingin membelikannya karena ia ingin Dini meminta sebenarnya. Jika wanita lain dengan senang hati menerima, Dini justru menolak keras karena tak enak.
“Mas ih cape banget ya allah. Mahal banget itu, beli yang lain aja ayo.” Ajak Dini dengan terus menarik tangan Dimas. Ia mencari store yang harganya ramah di kantungnya. Dimas melihat itu hanya tersenyum, dirinya mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Rabin untuk memesankan dua jam tangan di store tadi untuk dirinya dan Dini. Store itu sudah sangat mengenal Dimas karena Dimas ini termasuk pelanggan VIP mereka.
Disaat langkahnya masih mencari store tempat biasa ia membeli sepatu, Dimas kembali menarik Dini untuk masuk ke dalam store yang terhitung mewah kembali.
“Seumur-umur gue ke mall baru banget ini kaki masukin store ini.” Batin Dini. Dirinya cukup terkejut karena Dimas membawanya kesini.
“Sayang, sepatu ini bagus. Beli ini aja gimana?” Tanya Dimas menunjuk satu sepatu kets berwarna putih.