Selama perjalanan pulang, keduanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Dini hanya bisa menoleh ke arah jendela sedang mati-matian menahan tangisnya. Ia tak suka Dimas seperti ini, kata-kata pria itu menusuk sekali di hatinya. Ia tahu, dirinya bukan lagi anak remaja yang jika ingin memperjelas status harus ada adegan menyatakan cinta. Dini sudah paham semua akan sikap dan perhatian, belum lagi ucapan-ucapan cinta Dimas padanya. Ia hanya takut dan bingung, dirinya dan Dimas bagai langit dan bumi. Ia tak ingin banyak berharap walaupun hatinya merasakan dan mulai bisa menerima Dimas.
Tak lama keduanya sampai di depan rumah Dini. Tak ada suara Dimas sama sekali. Dini memberanikan diri menoleh dan hanya mendapati Dimas menatap lurus kedepan.
“Makasih ya mas. Kamu hati-hati pulangnya.” Ucap Dini lalu berbalik ingin membuka pintu mobil, namun pintu tersebut masih terkunci.
“Mas… boleh tolong di buka? Masih ke kunci.” Ucap Dini dengan nada pelan.
Tak mendapat respon dari Dimas membuat tangis Dini pecah. Dimas kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi dan melihat Dini yang masih menangis.
“Maaf..” dengan sesunggukan Dini berucap maaf pada Dimas.
“Aku gak pernah main-main sama kamu. Aku sayang sama kamu tulus Dini.” Barulah suara yang ingin Dini dengar sedari tadi terdengar.
“Semua yang aku lakuin tulus. Kamu berhasil bikin aku buka hati aku lagi. Aku juga trauma sama pernikahan aku sebelumnya. Aku juga bertekad gak mau nikah lagi dalam waktu dekat. Tapi kamu hancurin niat aku itu, aku mau nikahin kamu karena kamu orang yang tepat.” Ujar Dimas lagi.
Dimas menarik Dini kepelukannya dan membiarkan wanita itu menangis. Tangannya pun bergerak mengelus kepala hingga punggung Dini.
“Maaf kalo tadi ada kata-kata aku yang buat hati kamu sakit. Sekarang kamu istirahat dulu di rumah.” Ujar Dimas.
Setelah memastikan Dini masuk ke dalam rumah, Dimas masih duduk didalam mobil seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia pun mengeluarkan satu foto hasil kemarin Dini memaksanya untuk photobox bersama. Ia lalu memasang photo tersebut di mobilnya di gantung dekat kaca. Ada pula satu photo polaroid dirinya dan Dini saat keduanya makan di resto bertema rooftop. Denting ponsel Dimas berbunyi dan memperlihatkan satu notif pesan dari Rabin membahas soal pekerjaan. Ia kembali melihat jika wallpaper ponselnya terpasang foto Dini, Aruna dan Arjuna. Dimas diam-diam mengambil foto tersebut dari ponsel Dini. Foto saat Aruna baru saja memotong rambutnya.
~
Paska kejadian kala itu, Dimas menjadi lebih over protektif pada Dini. Entah, ia merasa hati Dini mudah sekali tergoyahkan hanya karena satu dan lain hal. Ia tak ingin Dini berpikiran dan memutuskan untuk tidak lanjut dengannya. Walaupun tidak dengan harus rutin chat menanyakan hal-hal sepele layaknya orang berhubungan pada biasanya, Dimas lebih memfasilitasi semua kebutuhan Dini. Bahkan ia sampai menambahkan jobdesk Rabin dan Robby untuk menjemput Dini selepas pulang bekerja. Awalnya Dini menolak keras karena harus diantar jemput. Dini tahu seberapa rumit pekerjaan Robby dan Rabin. Tetapi karena keras kepala Dimas sama dengannya, akhirnya diputuskan hanya menjemput Dini saja. Diam-diam pun Dimas memperhatikan siapa saja yang menghubungi atau mengirimkan pesan pada Dini. Ia tahu, sepupunya Dirga itu masih terus menganggu Dini.
“Pak Adimas maaf, ini Ibu Dini info ke saya katanya gak usah jemput. Katanya Ibu lagi ada meeting di luar kantor.” Ucap Robby yang lebih sering kedapatan menjemput Dini.
“Meeting dimana? Dia gak bilang ke saya.” Kata Dimas heran karena Dini tak bilang apa-apa padanya.
“Ibu cuma bilang gitu Pak. Gak bilang persis dimananya.” Jawab Robby.
“Yasudah, saya hubungi dia dulu. Dimana pun dia meeting, kamu harus tetap jemput dia ya Robby. Saya gak mau Dini kenapa-kenapa.” Ujar Dimas memperingati Robby.
“Iya Pak, pasti itu.” Jawab Robby lalu melangkah keluar.
~
“Kusut banget itu muka.” Sindir Rabin saat melihat Robby keluar dari ruangan bos mereka.
“Ada-ada aja bos lo. Kerjaan disini aja gak kelar-kelar. Nambah lagi. Gue sih gak apa-apa anter jemput Bu Dini ya, asal kerjaan disini dikurangin. Ini sama aja.” Keluh Robby saat duduk di kembali ke kursinya.
“Nah gitu manggilnya yang sopan pake ibu. Main panggil mba aja lo, gimana pun Bu Dini bakal jadi istri Pak Adimas.” Ucap Rabin kembali yang sebelumnya pernah menegur Robby.
“Ya gimana Bin, mukanya masih anak-anak banget.” Kata Robby kembali.
“Bu Dini seumuran lo Rob. Nasib aja beda, dia mukanya gak tua-tua. Muka lo kaya bapak anak 4 hahaha.” Balas Rabin di iringin oleh tawanya.
“Ketawa lo, kalo gak inget gaji disini gede. Udah nyari kerjaan lain gue. Btw, Bu Dini asik banget Bin orangnya. Gue kalo jemput sambil ngobrol, kaya ngomong sama google. Semua dia tau.” Cerita Robby.