One Fine Day (Become Mama)

Arinaa
Chapter #25

XXV

Hari ini Dini tengah berada di ruangan tunangannya. Ya tunangan, statusnya sudah berbeda sekarang. Ia diminta datang oleh Dimas karena pria itu yang meminta. Ada yang ingin bicarakan kata Dimas. Awalnya iya bingung dan penasaran hal apa itu. Jika memang urgent dan penting, Dimas bisa saja menelponnya. Kini ia menunggu lelaki itu meeting dahulu. Dirinya bosan, Dimas meeting sangatlah lama. Maklum mempunyai tunangan sebagai pengusaha resort yang sudah berkancah sampai ke luar negeri dan belum lagi ia pewaris dari sang ayah yang memiliki tambang batu bara. Semua hal tersebut Dimas lakukan bersamaan. Dini wanita yang sangat beruntung bukan. Tuhan memberikannya lelaki yang bisa menjamin kehidupan Dini kedepannya tanpa wanita itu harus bekerja keras seperti sekarang ini. Padahal dirinya sudah berjalan mengitari ruangan Dimas, melihat ke arah luar jendela, bahkan sampai makan beberapa cemilan di lemari pendingin di ruangan kantor Dimas.

“Kenapa dia gak nyuruh gue kesini pas udah mau kelar meeting sih.” Keluh Dini yang kini tengah duduk di sofa bersandar dan menengadahkan kepalanya ke atas.

“Adimas, kalo gak inget lo lebih tua udah gue jedotin kepala lo.” Ucapnya sendiri tanpa sadar ternyata Dimas sudah masuk dan mendengar ucapannya.

“Kalo pusing aku bisa hilang boleh nih jedotin aja yang.” Ucap Dimas sambil berjalan kearah Dini dan berhenti tepat di hadapan wanita itu.

Mendengar suara Dimas, bola mata Dini melebar dan otaknya langsung mencari berbagai alasan untuk membela diri.

“Hehehe..” tawanya terdengar dengan senyum tanpa dosa menatap Dimas.

“Aku udah minta Rabin pesen makanan. Kita lunch disini aja gak apa-apa kan?” Ucap Dimas seraya mendaratkan bokongnya ke samping Dini dan menyandarkan kepalanya di pundak wanita itu.

“Iya gak apa mas.” Jawab Dini membenarkan sedikit posisinya agar Dimas nyaman bersandar.

“Maaf bikin kamu nunggu lama. Mas gak expect ternyata lebih lama meetingnya dari yang mas kira.” Ujar Dimas dan dibalas anggukan kecil dari Dini. Entah rasa kesalnya menunggu seketika menghilang begitu saja.

“Hm… mas. Mau ngomong soal apa?” Tanya Dini.

“Nanti sekalian sama Rabin ya. Dokumennya sama dia soalnya. 10 menit ya sayang, mas mau tidur 10 menit aja begini. Nanti bangunin mas.” Jawabnya lalu memejamkan matanya pergi ke alam mimpi. Tak lupa tangan kirinya kini bergerak memeluk tubuh Dini.

Dini merasakan hembusan nafas tenang di lehernya. Pikirannya kalut jika Dimas seintens ini. Ia lalu menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala Dimas.

Tak terasa 30 menit Dimas terlelap. Rabin sebenarnya sudah datang sedari tadi mengantar makanan pesanan bos besarnya. Namun dokumen yang di minta Dimas ia bawa kembali karena dokumen tersebut sangat penting. Dimas mengerjapkan matanya dan tersadar dirinya tertidur cukup lama. Belum lagi Dini tak membangunkannya.

“Kenapa aku gak di bangunin hm?” Tanya Dimas pada Dini yang sibuk dengan ponselnya.

“Mas nyenyak banget tidurnya. Aku gak tega bangunin kamu.” Jawab Dini.

“Makan dulu ya mas, aku siapin bentar. Tadi Mas Rabin udah dateng.” Ucap Dini lalu menyiapkan makanan yang masih terbungkus itu.

..

“Sayang, kamu tanda tangan yang udah di tandain Rabin ini.” Ucap Dimas seraya memberikan dokumen pada Dini selepas keduanya makan.

Mata Dini dengan awas membaca dokumen tersebut dengan telaten. Ia lalu menoleh pada Dimas meminta penjelasan.

“Mas mau pindah nama atas nama kamu aja buat dua apartement mas itu. Tanda tangan ya sayang.” Ujar Dimas seakan mengerti maksud tatapan Dini.

“Mas tapi ini buat apa? Aku masih tinggal dirumah sama mama aku.” Jawab Dini.

“Sayang, kita mau nikah. Apa yang mas punya otomatis jadi punya kamu juga. Mas mau pindah nama aset mas satu-satu atas nama kamu.” Jawabnya dengan lembut.

“Tapi mas…” Otak Dini seakan saat ini sedang tak bekerja seperti seharusnya.

“Anggap aja ini janji pranikah. Kita gak tau kedepannya cobaan apa yang bakal kita hadapin setelah nikah. Ini bisa jadi pegangan kamu kalo mas suatu saat nyakitin kamu. Tapi mas pastiin itu gak akan terjadi.” Ujarnya kembali menjelaskan karena ia paham pasti ini terlalu tiba-tiba untuk Dini. Ia sangat paham karakter Dini yang terlalu independen sejak dulu. Ia ingin Dini bergantung padanya, meminta hal kecil padanya.

“Besok boleh gak mas tanda tangannya?” Tanya Dini.

“Kamu nawar mulu perasaan. Aku bukan pasar. Ayo tanda tangan. Kerjaan Rabin masih banyak itu nunggu kamu doang.” Balas Dimas yang gemas karena sedari tadi Dini beralasan terus.

Lihat selengkapnya