Dini sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala hari ini. Kini dirinya berada di klinik seperti biasa. Kedua staffnya pun tak berani menegur karena melihat seharian ini Dini hanya diam. Mereka hanya berani bertanya soal pekerjaan saja. Ia bicara saat ada pasien yang bertanya saja. Dan seharian ini pula Dini tak makan apa-apa. Minum pun jarang.
“Kak, udah mau tutup klinik. Kakak gak siap-siap?” tanya salah satu staff Dini ragu-ragu.
Dini menoleh dengan lemah dan mengangguk pelan. Ia lalu berdiri dan mengganti seragamnya dengan pakaian biasa. Setelah mengunci kliniknya, Dini berbalik dan mendapati Dimas yang tengah menatapnya. Ternyata sedari siang Dimas menunggu di mall tersebut. Pria itu sudah melihat Dini sejak siang tadi. Karena tak ingin mengganggu, ia memutuskan untuk menunggu hingga waktu bekerja Dini usai.
Dini menunduk dan berjalan melewati Dimas begitu saja. Ia rindu, namun hatinya kembali merasa sakit. Apalagi saat melihat keadaan Dimas sekarang.
“Dini.” Panggil Dimas mengikuti langkah Dini dari belakang.
“Sayang, bisa kita ngomong dulu?” Ucap Dimas lagi. Jika tak mengingat dirinya berada di mall, sudah pasti Dimas akan memeluk Dini detik ini juga. Ia tak ingin security mall salah paham dan membuat dirinya disangka melakukan pelecehan.
Saat sudah di luar, Dimas langsung memeluk Dini dari belakang. Pria itu pun menangis.
“Jangan pergi sayang. Jangan tinggalin mas.” Isak Dimas.
Dini yang sejak tadi menahan agar air matanya tak tumpah sepertinya menyerah juga. Ia juga ikut menangis dengan mencengkram kuat ujung jaketnya.
“Tolong lepas pak.” Terdengar nada bergetar dari ucapan Dini.
“Engga sayang. Mas mohon…”
Kemudian Dini berbalik perlahan menatap Dimas yang wajah pria itu masih dialiri air mata.
“Bapak mau apa? Kita udah selesai. Tolong pergi, saya mau pulang.” Ujar Dini.
“Kita gak pernah selesai sayang. Mas mohon. Anak-anak juga kangen sama kamu.” Balas Dimas.
Mendengar jika kedua anak yang beberapa bulan ini ia urus merindukannya, Dini kembali menangis. Ia sampai mengalihkan pandangannya karena tak tega dengan Dimas.
Dimas melangkah mendekati Dini dan menangkup kedua sisi wajah wanita itu. Kedua ibu jari tangannya perlahan menghapus air mata yang terus mengalir membahasi pipi Dini.