One (Hundred) Percent

Sri Sulastri
Chapter #6

Talitha yang Malang

Aku kira setelah diabaikan kemarin, Raka akan mengabaikanku juga. Ternyata tidak. Anak lelaki itu bahkan sekarang sekolah dengan bersepeda, dan sepeda miliknya diparkir tepat di samping sepedaku. Aku tahu, karena kami berpapasan di gerbang sekolah ketika tiba pagi ini.

 Raka hanya memasang ekspresi datar saat aku memandang ke arahnya. Kurasa, ia sengaja menyamaiku bersepeda dan sengaja pula memarkirkan sepeda miliknya bersebelahan dengan punyaku. Biar apa coba?

Sebelum masuk kelas, aku melihat daftar nilai UTS di papan mading sekolah bersama beberapa teman yang lain. Namaku ada di deretan tiga teratas pada setiap mata pelajaran. Syukurlah, tidak sia-sia begadang untuk belajar. Kudengar, ada siswa yang menayakan siapa pemilik nama Puspita. Wajar, sih, aku kan murid baru.

Setelah nilai-nilaiku dilihat oleh teman-teman yang lain, jadi banyak yang sekarang menyapa atau mengajak ngobrol. Para guru juga mulai mengingat namaku. Sangat berbeda dari kemarin-kemarin, dan aku benar-benar merasa ada sekarang.

"Wah, nilai lo bagus-bagus, Upi!" seru Talitha seraya menghampiri mejaku. Matanya yang berbulu lentik membulat, tetapi kemudian mulut sang gadis mengerucut. "Nilai gue turun akhir-akhir ini."

"Lho, kok bisa?" Sejauh yang aku tahu, Talitha adalah murid yang pandai di pengajian Ustazah Alifah.

Gadis berkulit hitam manis itu nyengir. "Gue sering on line sekarang. Nonton drama, balesin komenan di grup, sama chatingan ama Ayang." Muka gadis itu bersemu merah saat mengucapkan kalimat terakhir. Pasti ia sangat menyukai sang pacar.

"Jangan pacaran mulu, dong Tha," ucap Diana yang sedari tadi hanya terdiam.

Thalitha menarik kursi kosong yang berada di sampingnya, lantas duduk. "Suntuk di rumah, mama tiri gue ngajak berantem terus, Papa juga sering ke luar kota sekarang."

Ternyata Talitha juga bernasib sama sepertiku, punya ibu tiri. Dari mimik mukanya saat bercerita, aku bisa menyimpulkan bahwa sang ibu tiri sangat menyebalkan.

"Gue juga punya ibu tiri, Tha, dan emang bener suka bikin emosi jiwa." Aku ikut gemas. "Kenapa lo ngga tinggal sama ibu lo aja, sih?" tanyaku.

Talitha menarik napas dalam. "Mama gue pergi, Upi. Dulu, waktu gue masih kecil. Kata orang-orang, sih, dia kerja di luar negeri." Sorot mata gadis itu meredup.

"Tha, lo gabung grup ini?" tanya Diana yang sedari tadi mengutak-atik ponsel milik Talitha.

"Iya," ucap Talitha dengan senyum yang misterius.

"Parah, lo, Tha. Nanti kalau ada razia HP di sekolah bisa kena," tukas Diana sembari tetap menatap layar.

Aku pun ikut melihatnya, karena penasaran. Tampak beranda sebuah laman sosial media di layar HP Talitha.

"Upi, ngga boleh lihat! Ukhti-ukhti berhijab seperti Upi ngga cocok lihat ginian." Talitha mengambil kembali ponsel miliknya dan beranjak pergi.  

Aku lebih sering pulang bersama Diana daripada dengan Thalitha yang kadang suka menghilang saat jam pulang. Diana dan aku yang menuntun sepeda berpisah setelah lima menit berjalan. Susah juga menyamakan kecepatan dengan Diana yang berjalan kaki. Jadi, kuputuskan untuk menuntun sepeda demi bisa nyaman mengobrol dengan sahabatku itu.

Persis seperti kemarin, Gani, Chandra, dan Raka sudah berada di persimpangan jalan. Tampak dari jauh Gani dan Chandra turun dari motor dan menghampiriku sambil merentangkan tangan. Aku pun mengurangi kecepatan lalu menarik tuas rem.

"Pi, Pi, stop-stop, op-op!" Chandra menahan laju sepedaku dengan kedua tangannya. "Upi yang cantik, jangan cuekin Raka, dong. Kasian lho dia, udah capek-capek gowes sepeda ke sekolah demi bisa barengan sama lo," ujarnya dengan nada membujuk.

Lihat selengkapnya