Matahari yang terasa begitu terik menambah lengkap rasa haus dan gerah ini. Aku mengelap kerigat di dahi dengan ujung hijab. Berhijab di udara yang panas jadi tantangan tersendiri. Namun, semangat akan kembali saat teringat ucapan Ustazah Alifah. Menurut guru mengajiku itu, sama halnya dengan rasa lapar kala puasa, gerah ketika berhijab pun akan berbalas pahala, asal ikhlas menjalaninya.
Pandanganku serius ke arah persimpangan jalan itu. Untunglah, tidak ada Raka di sana. Lagian ngga ada kerjaan banget, kalau menungguku saat cuaca panas seperti ini.
"Upi." Suara Raka yang tiba-tiba lewat di samping membuat aku seketika menarik tuas rem.
Ia pun menghentikan laju sepedanya. Sebelah tangan anak lelaki itu memegang satu kantong keresek berisi dua botol minuman dingin. Kemudian, Raka mengacungkan satu botol teh dingin ke arahku.
Aku mengayuh lagi sepeda dengan pelan. "Makasih, Raka. Gue ngga haus."
Raka kembali menaruh keresek itu di setang sepedanya, lantas menyamai laju sepedaku.
Kami beriringan dan tidak saling bicara. Tidak usahlah mengajak Raka mengobrol, mungkin dengan begitu, ia akan berhenti mendekatiku.
"Gue kira bakalan ketemu lo tadi pagi di jalan, ternyata ngga. Berangkat jam berapa tadi?" tanya Raka, membuat diam kami berakhir. Sepertinya Raka masih mau usaha.
"Tadi gue berangkat lebih pagi, karena bagian jadwal piket." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari jalan.
"Oh. Besok kita pasti bareng, gue tungguin lo di tempat biasa." Kali ini dia yang menambah kecepatan dan meninggalkan aku saat sudah di dekat rumah.
Pekerjaan sepulang sekolah lumayan menguras tenagaku, terutama setrikaannya. Untung sudah tidak ulangan dan tidak ada PR, jadi hanya sebentar saja membaca buku pelajaran. Waktu yang tersisa sebelum tidur kupakai untuk menulis catatan harian.
Masih ingat kan dengan buku dan alat tulis yang aku beli dengan gaji pertama dari Mbak Kanya? Ya ini, buku tulis bergambar lebah berwarna kuning dan hitam. Aku membelinya satu pak kala itu. Sebagian untuk Salma dan sebagian lagi aku simpan. Baru dua dari lima buku yang aku pakai, satunya untuk buku pelajaran Matematika dan satunya lagi untuk menulis suka-suka. Kadang, aku menulis puisi, lirik lagu, curhatan, dan juga cerita.
Aku si Satu Persen
Maaf, ya buku Bee, aku menggunakan kertasmu yang putih untuk berkeluh kesah dan menuliskan cerita sedih.
Hari itu aku senang sekali, karena dapat pesan dari Teh Mayang. Ibu sudah tiba di Tasik dan sedang berada di rumahnya. Aku sungguh rindu Ibu, hampir satu tahun kami tidak bertemu.
Aku pamit kepada Nini dan segera pergi ke rumah Teh Mayang. Saking bahagianya, aku jadi lupa membawa HP. Saat tiba di rumah Teh Mayang, aku memeluk Ibu sangat erat, menumpahkan semua rindu yang telah tersimpan di lubuk hati. Aku kemudian bercerita padanya, jika sudah tinggal di rumah Nini sejak tiga bulan lalu. Tidak apa-apa Ibu pulang ke Jakarta tanpa aku, karena Nini sangat memperhatikanku, berbeda dari tinggal bersama Apa. Di rumah Apa, aku nyaris dianggap tidak ada.
Sepertinya Ibu tidak suka, dan ia malah memarahiku. Aku menyadari ada masalah di antara Ibu dan Nini, tetapi kenapa Ibu tidak bisa membiarkan aku tinggal? Aku kan bahagia dan terurus. Entahlah, kadang jalan pikiran orang dewasa sulit dimengerti.