Beberapa teman perempuan yang bertanya di mana aku tinggal akan menjerit histeris saat mendengar jawaban bahwa aku tinggal di rumah Bunda Liana. Yang berarti aku serumah dengan Kak Zain, anak lelaki yang menurut mereka tampan. Entah mengapa aku merasa tidak begitu.
Aku dan Kak Zain hampir tidak pernah bicara. Namun, ia tidak segan ikut membantuku jika pekerjaan banyak dan merepotkan. Satu yang aku tangkap dari ciri khasnya adalah Kak Zain cukup malas belajar dan sedikit manja, terutama jika di dekat Bunda Liana.
Kak Zain pun akhirnya punya seorang guru privat. Dari yang aku dengar, sang guru—Kak Habibie—akan datang lima hari dalam seminggu saat sore. Kelihatannya Bunda Liana cukup khawatir dengan nilai-nilai Kak Zain, mengingat sebentar lagi ujian semester genap.
"Pi, tolong bikinin teh panas, dong, buat Bang Bie!" ujar Kak Zain kepadaku yang sedang mencuci piring. "O, ya, Bang Bie ngga suka teh yang terlalu manis, jadi gulanya sedikit aja."
Segera aku mengerjakan apa yang diminta oleh Kak Zain. Dua cangkir teh panas sudah siap diantarkan ke teras belakang kemudian.
Aku mencuri pandang ke arah Kak Habibie. Jika bersanding, mungkin kulitku akan tampak lebih gelap darinya. Suara yang khas, tatapan mata, dan senyumnya membuat aku merasakan sesuatu yang aneh. Jantung berdegup kencang disertai rasa gugup yang mungkin membuatku terlihat bodoh.
Cukup lama aku berdiri setelah meletakkan kedua cangkir teh itu. Kak Habibie terlihat mengajari Kak Zain pelajaran Matematika dengan telaten. Sementara itu, Kak Zain sesekali menggaruk kepalanya dan berkata jika ia kurang paham. Aku melihat catatan soal di buku Kak Zain dengan sudut mata. Kedua lelaki itu sekarang melirik ke arahku secara bersamaan. Mungkin lebih baik pergi saja, sepertinya kehadiranku mengganggu.
♥♥♥♥
Pelajaran Matematika yang susah membuat seisi kelas kompak bersorak saat terdengar bel istirahat. Sebagian besar pelajar di muka bumi mungkin akan sangat menghindari mata pelajaran ini. Termasuk aku di dalamnya, meski kadang mengasyikan, tetapi jika belum terlalu paham cukup membuat kepala pusing kunang-kunang. Oh, itu aku yang lapar.
Langkah ini terhenti saat hendak keluar kelas untuk istirahat. Seorang siswi berambut ikal sebahu berkacak pinggang di hadapanku. Matanya tampak menyisirku dari ujung kepala sampai kaki.
"Siapa?" bisikku pada Diana yang sama-sama berdiri di hadapan anak perempuan itu.
Diana menutup mulutnya seraya menjawab pelan. "Itu Elmeira, teman sekelasnya Raka."
"Oh, ini toh yang namanya Upi. Non, jangan sok kecakepan deh, lo liat tuh temen gue, sahabat gue, Raka! Kasihan dia, setiap hari ngelamun, ngga ada semangatnya sama sekali gara-gara lo cuekin. Dia tuh terlalu baik buat diperlakuin kayak gitu. Lo 'kan berhijab, harusnya baik, dong, ngga sombong," ujar Elmeira seraya berjalan memutariku.
Aku paling tidak siap kalau harus ribut dengan sesama perempuan. Jika masalah pelajaran atau anak lelaki yang rese sangat bisa aku debat, tetapi kalau masalah seperti ini, aku bingung harus melawan dengan argumen apa. Jadilah aku memilih diam saja, sepertinya Elmeira pun tipe orang yang akan menjadi kalau dilawan. Dilihat dari gerak-geriknya, ia tampak disegani oleh teman yang lain. Bukan ide yang bagus, jika meladeni keributan ini.
Elmeira berkali-kali mengatakan aku ini sombong. Mungkin benar juga, aku sudah keterlaluan dengan Raka. Menolak berkali-kali pemberian anak lelaki itu bisa saja membuat hatinya terluka. Oh, aku telah berbuat jahat ternyata.
"Ini, dari Raka. Dia tulus ngasih ini sama lo. Please lo terima, kasihan Raka." Elmeira meraih tanganku dan mengepalkan sebuah kotak di telapak tangan ini. Bingkisan pink itu lagi.
Aku ingin belajar di sekolah dengan tenang dan menikmati setiap pelajaran. Sudahlah, sedikit meladeni Raka tidak apa, daripada berurusan dengan orang seperti Elmeira.
Aku memaksakan senyum saat Raka menghampiriku di parkiran sekolah. Diana yang hendak pulang bersama denganku, terlihat memundurkan langkah. Mungkin, temanku itu tidak mau juga berurusan dengan Elmeira.
"Upi, gue pulang duluan, ya," tukas Diana seraya berlari kecil menjauhiku.
"Ayo, Pi!" Raka naik ke atas sadel sepedanya.
Aku dan Raka mengendarai sepeda beriringan. Kemudian, aku menyamakan laju setelah sampai di jalanan komplek yang sepi dan berujar, "Terima kasih hadiahnya, Raka. Maaf ya, gue udah buat lo sedih."
"Oh, ngga apa-apa. Apa pun yang lo lakuin gue seneng-seneng aja, Pi." Untuk sejenak, pandangan kami bertemu, tampak lengkungan senyum di bibir Raka.
Aku membuka bingkisan pink yang sempat dikembalikan itu. Benar yang dikatakan Diana, berisi sebungkus cokelat, juga ada sebuah gelang manik-manik berwarna biru dan putih. Ya, Raka lumayan baik juga. Tidak apalah, kami kan hanya berteman.
Panggilan dari Kak Zain mengakhiri pengamatanku pada gelang itu. Seperti kemarin, ia meminta dibuatkan dua cangkir teh hangat, tetapi kali ini minta kue juga.
Sesuai permintaan Kak Zain aku membawa dua cangkir teh hangat dan setoples camilan. Aku tidak lantas pergi setelah meletakkan semua di meja. Penasaran juga dengan pelajaran anak SMA. Terlebih Kak Habibie tampak mengajari Kak Zain berulang-ulang.