Serupa dengan butiran hujan yang jatuh sedari malam hingga pagi ini, air mata deras membasahi pipi. Tangisanku jadi juara, karena sudah berlangsung selama berhari-hari, sedangkan hujan baru membasahi bumi sejak semalam saja.
Aku ingin Ibu mengerti maksud tangisanku dan bisa meredam segala gejolak emosi ini. Betapa semua kesedihan dan kekecewaan terasa begitu menyesakkan dada. Sedikit saja pengertian darinya akan sangat membantu. Akan tetapi, wanita berambut pendek itu tetap bergeming. Ia lebih memilih untuk mempertahankan harga diri daripada menggubris pintaku.
Ibu masih saja terdiam sambil tetap memetiki sayuran yang akan dimasaknya. Sementara itu, di luar sana matahari seakan enggan muncul, walau hari sudah beranjak siang. Jakarta jadi tak seperti biasanya, dingin, sedingin sikap Ibu di beberapa hari ini.
Aku belum berniat untuk menghentikan isak tangis. Ibu harus bicara secepatnya denganku untuk bernegosiasi. Tidak apa, jika memang harus tinggal di kontrakan sempit ini, tetapi setidaknya bisa tetap sekolah.
Akhirnya, Ibu meninggalkan sayuran yang akan dimasak dan mendekat. Mungkin, ia akan kembali memarahiku seperti kemarin-kemarin. Dari sorot mata itu, bisa tertebak, jika Ibu sudah tidak tahan dengan sikap yang aku tunjukkan selama tinggal bersama.
"Sudahlah, Upi. Kamu kalau tidak menangis terus pasti melamun. Mau sampai kapan?"tanya Ibu sembari duduk di hadapanku.
"Kenapa Ibu tidak membiarkan aku tinggal bersama Nini Aminah?"Pertanyaan Ibu kubalas dengan pertanyaan lagi.
"Kamu sudah besar, pasti paham. Nini benci pada Ibu dan juga ayah tirimu, membiarkan kamu tinggal bersamanya seperti sengaja membiarkan Ibu lebih diinjak-injak lagi."Nada suara Ibu meninggi.
Hubungan Ibu dengan Nini Aminah serta keluarga yang lain memang kurang harmonis sejak menikah dengan ayah tiriku. Namun, mengapa harus aku yang jadi korban dari perseteruan mereka? Aku ingin hidup damai di tengah-tengah orang dewasa.
Kuseka air mata, betapa orang dewasa begitu mendewakan gengsi mereka. "Upi lebih senang dan betah di rumah Nini, Bu daripada di rumah Apa."
"Heri bapak kandung Upi, sudah tanggung jawabnya menafkahi dan merawat, sedangkan Nini Aminah tidak ada kewajiban untuk itu. Cik atuh karunya ka Ibu.Kamu tidak tahu aja, sudah berapa kali uwa-uwakamu nelepon. Mereka sengaja mau mengejek Ibu, karena tidak becus mengurusmu. Kang Karim sama Ceu Lasmi tidak ingat, dulu, bahkan setiap hari datang ke rumahku untuk meminta uang."Ibu berdecak.
"Ibu egois, kenapa Ibu ngga mau Upi bahagia?"tanyaku seraya melebarkan mata, menatap tajam kedua manik hitam miliknya. Jika terus-terusan begini, bisa hilang rasa hormatku pada wanita itu. Ia bahkan tega meninggalkan aku bersama Apa yang tidak pernah menunjukkan kasih sayang. Lantas, setelah aku nyaman dengan ketidakhadirannya, malah mengajak paksa untuk ikut.
Ibu mengangkat tangan kanan ke udara, kemudian tertahan saat berjarak beberapa sentimeter saja dari pipi kiriku.
Tidak kupalingkan muka. Jadi ingin tahu, apakah Ibu yang dulu bak malaikat buatku benar-benar tega memukul darah dagingnya sendiri.
Ibu mengepalkan telapak tangan dengan gigi-gigi atas dan bawah yang saling beradu. Kemudian, kedua tangannya terkulai ke lantai.
Aku memandang wajah Ibu yang kini fokusnya ke arah langit-langit rumah. Saat pandangan kami bertemu beberapa menit kemudian, tertangkap rasa lelah dari sorot mata itu. Mungkin, karena hampir setiap hari kami bertengkar—berujung tangisanku yang panjang—selama dua minggu terakhir dan topiknya selalu sama, aku tidak mau ikut ke Jakarta bersama Ibu.
Tinggal bersama Nini di kampung halaman, Tasikmalaya, terasa menyenangkan, karena mendapat limpahan kasih sayang. Sangat berbeda, jika dibandingkan dengan hidup bersama Apa atau Ibu yang sama-sama sudah mempunyai keluarga baru.
Sebenarnya, tangisanku sudah mulai mereda dua hari lalu. Namun, Pak Fajar—ayah tiriku—membawa kabar yang menyedihkan kemarin. Proses pindah sekolah dari Tasikmalaya ke Jakarta berbelit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara saat ini kondisi keuangan keluarga sedang buruk. Pak Fajar juga tidak punya waktu luang untuk mengurus semua proses pindah sekolah, karena harus tetap bekerja. Harapan untuk sedikit terhibur jika bersekolah pun sirna. Jadilah kini aku remaja putus sekolah.
Setelah cukup lama terdiam, Ibu memegang tanganku dan pandangan kami saling bertaut. "Tolong Ibu, Upi, berhentilah menangis, jangan sering melamun! Kerjakan apa pun yang membuat kamu tidak bersedih."