Rumah kontrakan yang kami tempati hanya terdiri dari dua ruangan ukuran 4 x 5 m, bagian depan digunakan sebagai ruang TV merangkap kamar tidur bagiku dan Salma. Sementara itu, bagian belakang adalah kamar tidur Ibu, Pak Fajar, dan Yogi serta dapur.
Aku memandangi dinding, beberapa bagian tidak tertutup dengan sempurna, sehingga batako penyusunnya terekspos. Jauh berbeda dengan rumah kami di Tasik. Meski terbilang sederhana, tetapi cukup luas, karena masing-masing anak punya kamar sendiri, juga temboknya tidak ada yang seperti ini. Usaha mebel rintisan Ibu yang bangkrut dan pertengkaran di keluarga besar membuat kami hijrah ke Jakarta dan terpaksa tinggal di kontrakan dengan harga sewa yang murah.
Ibu sedang memilah-milah baju di lemari ketika aku masuk ke kamarnya. Kemudian, ia menjahit beberapa bagian baju dan aku duduk di kasur memperhatikan jari jemari Ibu yang terampil.
"Cobain, Upi! Itu sudah Ibu kecilin, pasti muat di kamu. Sementara, pakai baju-baju Ibu dulu, nanti kalau sudah punya uang, Ibu belikan baju yang baru."
Aku diajak Ibu ke Jakarta hanya membawa baju yang melekat di badan. Wajar saja, jika ia harus memutar otak agar anak gadisnya ini punya baju ganti.
"Muat, Bu," ujarku seraya melepaskan lagi baju yang barusan dicoba.
Andai saja Ibu mau membuang gengsi dan datang baik-baik menemui Nini, aku pasti punya banyak baju ganti. Mungkin ia sudah lelah terus bertengkar dengan Nini, hingga berusaha melakukan jalan lain agar aku bisa ikut bersamanya.
"Bu, Upi mau kerja saja, bosan tinggal di rumah terus," kataku sembari melipat kembali beberapa baju.
Tidak ada kegiatan sungguh membuat suntuk setengah mati. Al-Quran terjemah dan buku pelajaran Salma ternyata tidak cukup mengusir jenuh. Terutama saat ingat ponsel kesayanganku dan hari-hari menyenangkan bersama teman-teman di sekolah.
Ponsel yang selalu ramai oleh obrolan chatgrup, juga beranda sosial media yang sudah tiga minggu ini tidak di-updatemembuat aku ingin menangis lagi seharian.
"Kamu yakin?" Ibu tampak ragu.
"Iya, tapi Upi cuma tamat SD, kalau mau kerja, kerja jadi apa?"
"Upi, kemarin Mbak Kanya, anaknya Pak RT, nyariin orang buat nyuci gosok. Kalau kerja itu Upi mau?" Sepertinya Ibu merasa canggung ketika bertanya.
"Upi mau, Bu, ngga apa-apa," jawabku penuh semangat.
"Besok pagi Ibu anterin, ayo bantuin beresin lagi, baju yang ini taruh di lemari kamu!"
Pagi di hari berikutnya, aku sudah mulai bekerja di rumah Mbak Kanya, seorang ibu muda yang mempunyai dua anak balita. Mbak Kanya kerepotan, jika harus mencuci dan menyetrika, sementara dua anak balitanya membutuhkan banyak perhatian. Gaji lima ratus ribu rupiah per bulan pun disepakati.
Setelah sebelumnya mendapat pengarahan dari Mbak Kanya, aku memulai pekerjaan. Kubuang jauh rasa enggan saat melihat cucian dan setrikaan yang menggunung. Mari kita mulai dengan mencuci baju!
Sebagian baju dicuci dengan mesin cuci, sebagian lagi dikucek dengan tangan, masing-masing satu bak besar penuh. Patut dibilang sebuah perjuangan, karena aku yang mungil dan imut ini biasa bermain dan mengerjakan pekerjaan rumah sekadarnya saja. Apa daya, demi membunuh kebosanan dan kesedihan aku berusaha menikmati semua.
Hari pertama pun berakhir jam satu siang, berbuah penat dan pegal di tangan. Setelah salat Zuhur dan makan siang, aku tertidur kelelahan.
Seminggu penuh perjuangan untuk menikmati keadaan pun berlalu. Aku sudah terbiasa dengan rasa pegal itu. Namun kemudian, ada rasa sakit lain yang menghampiri. Oh, ternyata mencari rupiah bisa membuat banyak rasa sakit. Pantas saja Apa akan ngedumel panjang saat aku datang ke hadapannya dan meminta uang.
"Upi, nanti kalau sudah selesai gosok, tolong sekalian cuciin piringnya, ya!" perintah Mbak Kanya sembari menyusui bayinya.
"Baik, Mbak,"jawabku.
Setelah baju terakhir dilipat, aku mencabut kabel setrikaan, kemudian menuju dapur. Piring dan gelas menumpuk di wastafel dapur bernuansa biru itu. Mbak Kanya pasti belum sempat mencuci piring, karena sang bayi sedang rewel. Segera aku meraih sabun dan spons pencuci piring.
Aku meringis ketika sabun mengenai jempol kanan. Jempol yang malang itu melepuh kemarin, karena ia belum terbiasa memegang setrikaan dalam waktu lama.