One (Hundred) Percent

Sri Sulastri
Chapter #3

Berani atau Rugi

Mbak Kanya sedang ada keperluan di luar kota, sehingga hari ini aku libur. Seperti biasa, Al-Quran terjemah menjadi teman setia pengusir rasa bosan.

Al-Quran ternyata sangat menakjubkan ketika dibaca artinya. Entah mengapa ayat-ayat itu seakan bisa menguatkan sekaligus menghiburku. Juga, kisah-kisah masa lampau yang tertulis abadi dalam Al-Quran tak kalah mengasyikan dari buku cerita atau komik.

"Upi, tolong beliin Ibu bayam di tukang sayur! Sebelum gerobaknya pergi." Ibu menghampiriku seraya menyerahkan selembar uang.

"Ya, Bu." Aku segera menjalankan perintah.

Gerobak tukang sayur hampir tak terlihat, karena kerumunan ibu-ibu yang memilih bahan masakan. Aku menunggu giliran dilayani dengan bayam yang sudah di tangan.

Mbak Pur, sang tukang sayur sedang menghitung belanjaan seorang ibu berhijab lebar.

"Alhamdulillah, Bunda Liana sudah bisa beraktivitas lagi. Maaf, kemarin belum sempat jenguk ke rumah sakit," seru seorang ibu berdaster batik yang baru datang.

"Tidak apa-apa Bu Sari," jawab wanita yang disapa Bunda Liana. Aku sekarang mengenalinya, ia adalah pemilik rumah besar yang di depannya ada toko kelontong dan car wash. 

"Cepat cari asisten rumah tangga yang baru atuh, Bunda! Biar ngga terlalu capek." Seorang wanita dengan kepala yang berbalut handuk ikut nimbrung obrolan Bunda Liana dan Bu Sari. Aku mengenalnya, Bu Ratih, orang yang tinggal di kontrakan sebelahku.  

Bunda Liana terlihat membetulkan hijab syar'inya. "Maunya sih, gitu, tapi belum dapat yang cocok," ujarnya.

"Jadi semua enam puluh ribu rupiah, Bunda." Mbak Pur menyerahkan satu plastik belanjaan kepada Bunda Liana yang kemudian memberinya sejumlah uang.

"Pas ya, Bunda. Terima kasih," kata Mbak Pur seraya memasukkan uang tersebut ke dompet yang tergantung di pegangan gerobak.

Bunda Liana lantas berjalan menuju rumahnya setelah pamit kepada beberapa ibu yang masih memilih sayuran.

"Bunda Liana terlalu ketat sih, Jeng. Tahu ngga, ART aja harus disiplin ibadah sama menutup aurat, mau jadi ART apa santri?" Bu Ratih membeberkan info dengan gaya khas biang gosip. 

Ibu-ibu itu pun terkekeh, karena celetukan Bu Ratih. 

"Dia belum biasa kerja berat ngurusin rumah sebegitu besar, jadinya sakit dan baru kemarin pulang dari RS. Eh, udah pada nengokin belum, nih ngomong-ngomong?" Bu Sari meletakkan kembali kangkung yang sedari tadi ia pegang.

"Belum, ayolah nanti habis masak kita ke rumahnya!" usul Bu Ratih yang kemudian diamini oleh ibu-ibu yang lain.

"Mau beli apa, Dek?" Suara Mbak Pur membuatku berhenti dari memperhatikan ibu-ibu itu.

Aku berjalan menenteng belanjaan dengan pikiran yang menerawang. Percakapan ibu-ibu tadi membuat sebuah ide muncul. Bekerja jadi ART tentu bayarannya lebih besar dari sekadar jadi buruh cuci gosok. Bisa sekalian juga tinggal di rumah majikan, tidak usah pulang. Jadi, segala perdebatan Ibu dan Pak Fajar mengenai sekolah atau biaya hidupku tidak lagi menganggu pikiran.

Sekolah, sebuah ide muncul lagi di benakku. Bagaimana kalau bayarannya sekolah saja, tak perlu sejumlah uang. Lupakan saja dulu soal mengumpulkan uang untuk membeli hand phone, sekolah lebih utama.

Bunda Liana pun terlihat seperti wanita yang baik hati. Ia mungkin tidak akan keberatan, jika aku meminta bayaran seperti itu.

Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan keinginan bekerja, baik kepada Bunda Liana maupun kepada Ibu. Namun, keinginan itu terus saja mengusikku. Ketika membantu Ibu, nyuci-nyetrika di rumah Mbak Kanya, juga kala aku membaca Al-Quran terjemah. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus secepatnya bilang, kalau tidak, nanti bisa menyesal seumur hidup.

Terik matahari pertengahan bulan Maret menjadi saksiku yang memantapkan langkah menuju rumah Bunda Liana. Sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di tengah. Di sebelah kirinya ada toko agen sembako dan sebelah kanannya ada usaha car wash yang sama-sama selalu ramai oleh pelanggan.

Beberapa lelaki muda tengah sibuk memberi sabun dan mengelap mobil serta motor yang sedang dicuci. Namun, toko kelontong tampak sepi kali ini, terlihat hanya ada seorang pria bertopi yang sedang asyik memainkan ponselnya. 

Aku memutuskan untuk bertanya kepada pria itu. Ia biasa dipanggil Bang Syafiq. Saat berbelanja di toko Bunda Liana, biasanya Bang Syafiq ini yang melayaniku.

"Assalamualaikum, Bang Syafiq. Bunda Liana ada?" Pertanyaanku tak membuat mata Bang Syafiq lepas dari gawainya.

Lihat selengkapnya