Butuh waktu untuk sebuah penyesuaian, bisa jadi akan tidak mudah. Namun, masa depan seperti apa yang akan didapat akan tergantung pada langkah yang aku ambil saat ini. Tinggal bersama keluarga lain untuk tetap bersekolah, setidaknya membuat harapan mendapat kehidupan yang lebih baik nantinya tetap bersemayam di hati. Meski ada beberapa hal yang membuat khawatir, aku tetap berusaha untuk menjalani hari-hari dengan gembira.
Beberapa pekerjaan sudah aku lakukan hari ini. Mulai dari mencuci piring dan baju hingga membersihkan rumah. Semua petunjuk mengenainya sudah Bunda Liana sampaikan saat hari kedua aku tinggal di sini, termasuk pembagian tugas di antara kami.
Hidangan makan malam yang dimasak oleh Bunda Liana sudah aku letakkan semua di meja. Kali ini, anggota keluarga lengkap hadir di meja makan, termasuk aku. Sebenarnya, aku sempat menolak untuk makan bersama. Entah mengapa, rasa canggung membuat tidak bisa makan dengan tenang. Namun, karena Bunda Liana terus memintaku, jadi tidak enak jika menolak.
Pak Sofyan, sang kepala keluarga menerima sepiring nasi dari istrinya, Bunda Liana. Kedua anak mereka Kak Sarah dan Kak Zain kemudian mengambil bergantian. Lalu, terakhir aku yang mengambil makanan.
Aku mengunyah dengan perlahan, karena rasa canggung tetap ada kala bersama di satu meja dengan orang-orang yang baru dikenal.
"Ngga usah malu-malu, Upi, makan yang kenyang," celoteh Kak Sarah. Ia si sulung yang membuat rumah ini terasa hangat dan hidup.
Hanya beberapa hari saja dalam seminggu gadis berlesung pipi itu ada di rumah. Selebihnya, ia sibuk mengurus yayasan yatim piatu dan bisnis yang dikelola bersama adik Bunda Liana.
Sementara itu, Kak Zain—si bungsu—remaja kelas XI yang lebih hemat kata. Namun, jika berada di dekat sang kakak, kejahilannya akan muncul seketika.
Selesai makan malam, aku segera merapikan piring yang kotor dan mencucinya. Percakapan antara Kak Sarah dan Bunda Liana terdengar dengan jelas olehku, karena jarak wastafel dan meja makan memang tidak terlalu jauh.
Dua hari kemarin, Kak Sarah mengurus semua hal yang berkaitan dengan pindah sekolahku. Sepertinya ia hobi travelling di sela-sela kesibukan mengurus yayasan dan berwirausaha. Kota Tasikmalaya seakan bukan tempat yang asing baginya.
Semua dokumen ternyata sudah siap, besok tinggal dibawa ke sekolah SMP yang ada di dekat rumah untuk pendaftaran. Hanya, sudah hampir tiga bulan aku tidak bersekolah, itu berarti ketika masuk nanti, akan langsung dihadapkan dengan ujian tengah semester.
♥♥♥♥
Aku telah siap dengan seragam putih biru. Kali ini, berbeda dari yang biasa dikenakan ketika sekolah di Tasikmalaya dulu. Seragam putih biru panjang dan kerudung yang lebar sudah diberikan padaku oleh Bunda Liana sejak tiga hari lalu. Aku merasa sedikit aneh. Namun, bukan ide yang bagus, jika mendebat orangtua asuhku itu.
Kak Sarah yang sudah menghabiskan roti sarapannya memandangku lekat. "Bunda, apa tidak berlebihan? Biasanya anak SMP pakai kerudung segi tiga yang biasa. Kok Upi dibelikan hijab syar'i untuk sekolah. Apa tidak kepanjangan?"
"Hijab itu memang seharusnya menutupi dada 'kan, Kak? Sama seperti yang Bunda dan kamu kenakan. Sudah cepat berangkat! Kalian pasti sudah ditunggu Bu Husna." Bunda Liana menyodorkan tas ke arah Kak Sarah.
Mata Kak Sarah masih menatapku, mungkin ia ingin memastikan kalau aku merasa nyaman. "Upi, ngga apa-apa 'kan pakai tas bekasnya Kak Sarah?" tanyanya.