Aku ceroboh hari ini, lupa menjemur baju yang dicuci tadi pagi. Baju dan kerudung yang aku pakai sekarang juga kotor terkena tumpahan kuah soto. Noda kuning dari kunyit akan sulit dicuci jika dibiarkan lama. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengganti baju dan melepas kerudung, agar bisa segera aku cuci. Kemudian, mengerjakan tugas yang lain saat sore hari yaitu menyapu.
Halaman depan rumah yang cukup luas memisahkan car washdan toko kelontong. Beberapa pot bunga berjejer rapi di samping teras yang lebih tinggi dari halaman.
Aku memulai pekerjaan sore dengan menyiram tanaman dan paving block agar tidak berdebu ketika disapu. Lantas, dengan perlahan mulai menyapu sampah yang berserakan di halaman hingga ke dekat car wash.
Usaha car wash milik Bunda Liana selalu ramai oleh pelanggan. Ada empat orang pemuda yang bekerja di sana. Saat awal aku tinggal di rumah ini, keempat pemuda itu kadang mengajak ngobrol bahkan menggodaku. Namun, aku hanya merespon seperlunya, lalu siap memberikan tatapan garang, jika sudah mulai merasa terganggu. Lumayan, mereka tidak lagi bicara hal yang tidak penting denganku.
Sore ini, car washterlihat lengang. Dua di antara mereka duduk di bangku, sementara aku menyapu sampah ke arah kedua pemuda itu.
Seorang yang berambut lurus menghampiriku seraya membawa pengki. "Kamu lebih cantik tanpa hijab, Upi," ujarnya sembari tersenyum.
Mataku tajam menatap ke arahnya, dan segera meraih pengki yang ia bawa. Lantas, aku buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Apa begini nasib jadi seorang gadis remaja? Selalu ada saja pemuda yang menggoda.
"Upi, ke sini bantuin, Abang!" Terdengar teriakan Bang Syafiq yang kepalanya menyembul di antara etalase toko. Ia terlihat kerepotan karena harus melayani beberapa pembeli.
"Ya, Bang." Aku segera menghampiri keponakan Bunda Liana itu.
Sabun cuci dan pelembut baju sudah tertata rapi di dalam dus. Pelanggan kemudian membayar sejumlah yang tertera di bon yang aku serahkan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelanggan itu, aku menyerahkan uang yang diterima kepada Bang Syafiq.
Kadang, Bang Syafiq pun membuat aku jengah, sama layaknya keempat pekerja car wash, seperti sekarang.
Tatapan pria berjambang lebat itu seolah menguliti. Tanganku pun ia genggam cukup lama saat menyerahkan uang. Satu hentakan keras dan mata yang melotot akhirnya bisa membuat Bang Syafiq melepaskan telapak tangan ini.
Meski begitu, bapak satu anak ini tetap berusaha menggoda. "Rambut kamu bagus, Upi."
Aku pasang saja muka masam, dan segera masuk ke rumah, malas rasanya berada di dekat Bang Syafiq lama-lama. Tinggal terpisah dari orang tua dan berada di sekitar banyak pria mungkin akan semakin menyusahkan ke depannya. Aku harus pintar menjaga diri, terlebih Bunda Liana bisa membuat aku kembali tidak bersekolah jika bertindak macam-macam.
Bunda Liana tiba di rumah menjelang magrib, ketika aku baru saja selesai mengepel lantai. Sesaat setelah merapikan beberapa barang yang ia beli, Bunda Liana memanggilku, lalu menyuruh duduk di kursi meja makan.
Wanita berhijab lebar itu mencecarku dengan banyak pertanyaan. Nada suaranya meninggi ketika aku mengaku telah melepaskan hijab dari siang.
Sejenak, Bunda Liana terlihat memejamkan matanya. "Jangan kamu anggap hijab sebagai beban, itu bukti ketaatanmu pada Allah dan bentuk kasih sayang-Nya agar kamu tidak diganggu. Tentu, ketika kamu mengenakannya pun jangan menunjukkan kalau kamu memang senang diganggu, menjaga kesucian itu tidak bisa ditawar."
Aku menelan ludah, degup jantung terasa lebih cepat. "Ma-maaf Bunda, Upi tidak akan mengulanginya lagi, tapi...." Suaraku terputus, segera aku menghapus genangan air mata yang siap meluncur jatuh. "Upi hanya punya dua baju panjang dan dua hijab, semuanya masih basah, tadi lupa jemur pas pagi, terus satunya lagi ketumpahan kuah soto, jadi langsung Upi cuci, maaf."
Bunda Liana terdengar berdecak. Aku tidak berani mengangkat wajah, hanya terus berusaha menahan isak sembari memainkan kuku-kuku jemari. Baru saja beberapa hari tinggal bersama, aku sudah membuat marah wanita setengah baya yang menjadi tumpuanku saat ini. Aduh, bodohnya aku.
♥♥♥♥
Bang Syafiq tampak setengah berlari menuju rumah utama. Toko telah dibuka oleh Bunda Liana dari dua jam lalu, dan aku ditugaskan untuk melayani beberapa pelanggan yang mulai berdatangan. Pria itu pasti akan dimarahi sang tante, karena tidak hanya kali ini saja ia terlambat membuka toko. Untung sekarang aku libur, jadi bisa menggantikan tugasnya.